Reporter: Mona Tobing | Editor: Dessy Rosalina
NEW YORK. Popularitas Telegram tiba-tiba mendaki lantaran aksi penolakan sejumlah negara atas kehadiran layanan pengiriman pesan ini. Terbaru, Pemerintah Indonesia memblokir layanan pengiriman pesan Telegram karena dinilai memfasilitasi komunikasi dengan sejumlah teroris.
Jauh sebelum Indonesia melarang layanan pesan lewat Telegram, sejumlah negara telah lebih dahulu memblokir Telegram dengan alasan keamanan. Bahkan di negara asalnya yakni Rusia, Telegram mendapat penolakan karena dikhawatirkan membawa ancaman bagi stabilitas keamanan.
Pendiri Telegram, Paul Durov tentu menyangkal tudingan bahwa aplikasi ciptaannya tersebut menjadi saluran terkait teroris dan ancaman keamanan negara. Ia justru mengkritik sejumlah negara seperti: Arab Saudi, China, Oman, Iran, Rusia dan Indonesia yang melarang pemakaian Telegram sebagai saluran komunikasi.
Larangan tersebut tentu telah merugikan bisnis Telegram di tengah perkembangannya yang terus pesat. Durov mengklaim Telegram saat ini memiliki 100 juta pengguna aktif setiap bulannya dengan 350.000 pengguna baru setiap hari.
Ia juga mengatakan bahwa ada 15 miliar pesan di Telegram setiap hari. Isu terorisme yang telah berkali-kali dibantah Durov, menjadi alasan sejumlah negara memblokir layanan Telegram.
Lewat laman Twitternya, Durov menyebut bahwa ini semua adalah persaingan bisnis dimana raksasa teknologi seperti: Google, Apple, Facebook dan WhatsApp khawatir dengan keberadaaan Telegram yang memberikan layanan privasi lebih dalam berkomunikasi.
Selama ini kata Durov masyarakat di dunia luput dalam memprediksi bahwa raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) tersebut telah melakukan pelanggaran data. Bahkan pria yang aktif di sejumlah media sosial ini menuding bahwa sejumlah raksasa teknologi tersebut melakukan kecurangan.
"Ini semua tentang iklan. Tanpa sadar data anda di WhatsApp telah dijual ke pengiklan. Mereka mengklaim bahwa layanan mereka aman padahal semua data anda dijual kepada negara tempat dimana mereka berbisnis. Inilah kasus kecurangan konsumen terbesar dalam sejarah manusia," tukas Durov.
Ia meyakini bahwa kehadiran Telegram dapat memerangi kecurangan tersebut. Sebagai perbandingan, Telegram mengandalkan enkripsi end-to-end yang dibantu oleh awan terenkripsi dan terdistribusi untuk pesan dan media.
Kunci dekripsi yang relevan dipecah menjadi beberapa bagian dan tersebar di berbagai yurisdiksi. Struktur ini membuat data awan pemilik akun seratus kali lebih aman terlindungi daripada saat disimpan oleh Google, Facebook, atau Apple.
Tidak heran pemerintah dan regulator tidak senang dengan Telegram. Namun Durov bertahan dengan layanan Telegramnya dan tidak akan mengubah prinsip platformnya.
Bahkan kehadiran Telegram sebagai bentuk perlawanan atas pemerintah yang dinilai korup dan paronia tentang sejumlah hal yang dilakukan masyarakat. Sebaliknya, Durov mengatakan penting perusahaannya tetap menjaga kepercayaan dari penggunanya.
Konsekuensinya Telegram pun ditinggalkan. Juru Bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov yang dulunya adalah pengguna telegram mengatakan bahwa dirinya dan sejumlah pejabat beralih ke layanan lain.
Dinas keamanan Rusia mengklaim Telegram digunakan oleh teroris untuk merencanakan serangan dan pemboman bunuh diri. Bahkan digunakan ISIS untuk menyebarkan aplikasi pembelajaran hal ekstrim. Meskipun Telegram telah memblokir saluran ISIS, namun selalu ada saluran baru yang dibuat ISIS.
Peneliti Independen Kebijakan siber Iran Collin Anderson mengatakan Telegram menyediakan layanan yang tidak dapat langsung diawasi seperti panggilan telepon biasa. Hal inilah yang kemudian membuat banyak yang tertarik menggunakan Telegram.
Anderson menilai bahwa pemblokiran Telegram yang terjadi di sejumlah negara tidak beralasan. Bahkan menuding bahwa pembatasan tersebut terjadi karena faktor ekonomi. "Sebab aplikasi tersebut dapat memotong pendapatan yang dihasilkan oleh pengisian untuk pesan teks dan airtime," tukas Anderson seperti dikutip Reuters, Senin (17/7).