Sumber: Daily Sabah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pendiri Turkish Critical Minerals Initiative, Sait Uysal, mengatakan Turki berpeluang besar memenuhi ambisinya lewat kemitraan yang saling menguntungkan.
“Dengan China membatasi transfer teknologi untuk menjaga dominasinya, Turki bisa menjadi alternatif bagi negara-negara Barat jika mampu menjalin kemitraan berbasis pertukaran teknologi,” kata Uysal.
“Kalau itu berhasil, Turki tak hanya jadi pemasok bahan mentah, tapi juga pusat produksi bernilai tambah,” tambahnya.
Namun, ia menekankan bahwa semua bergantung pada strategi dan pelaksanaan.
Uysal juga menyoroti bahwa transfer pengetahuan di sektor REE sangat terbatas.
“Teknologi terkait REE dilarang keras diekspor dari China. Bahkan lembaga riset tak bisa memberi konsultasi tanpa izin negara,” jelasnya.
Karena itu, kerja sama internasional menjadi krusial. Uysal menyarankan Turki menjajaki proyek bersama dengan Jepang, Korea Selatan, AS, atau negara Eropa yang kekurangan sumber daya tapi punya keunggulan teknologi.
Tonton: Tiongkok Batasi Ekspor Tanah Jarang, Trump Meradang dan Langsung Getok Tarif 100%!
Selain itu, ia menekankan pentingnya pembangunan SDM, mendorong mahasiswa pascasarjana dan doktor untuk meneliti REE di Australia, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Ia juga mengusulkan agar pusat riset logam tanah jarang di Turki dijadikan pusat pengembangan talenta nasional hingga terbentuk basis keahlian dalam negeri yang kuat.
Menutup pernyataannya, Uysal menjelaskan rantai nilai dari bahan mentah hingga produk akhir:
“Pasar global bahan mentah REE nilainya sekitar US$ 7 miliar. Kalau digunakan untuk membuat magnet, nilainya melonjak jadi US$ 40 miliar; untuk motor listrik dan komponen lain jadi US$ 400 miliar; dan kalau sampai ke produk akhir seperti turbin angin atau mobil listrik, nilainya bisa mencapai US$ 4 triliun,” ungkapnya.
“Itulah strategi China: menguasai produk bernilai tinggi. Penambangan hanyalah tahap pertama — murah dan mudah dikelola,” paparnya lagi.