Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2024, produksi global logam tanah jarang kembali melonjak secara signifikan, mencapai 390.000 metrik ton, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan produksi global pada tahun 2017 yang hanya mencapai 132.000 metrik ton.
Lonjakan ini menandai titik balik penting dalam sektor bahan mineral strategis yang menjadi tulang punggung teknologi masa depan, dari kendaraan listrik hingga kecerdasan buatan.
Pentingnya Logam Tanah Jarang dalam Teknologi Modern
Logam tanah jarang seperti neodimium, disprosium, praseodimium, dan itrium sangat krusial untuk berbagai industri strategis, antara lain:
-
Kendaraan listrik (EV)
-
Energi terbarukan
-
Teknologi militer
-
Industri elektronik dan AI
Baca Juga: Perusahaan AS Hentikan Ekspor Tanah Jarang ke China di Tengah Memanasnya Perang Tarif
Mengutip investingnews, meningkatnya permintaan global seiring dengan kemajuan teknologi menyebabkan negara-negara saling berlomba mengamankan rantai pasokan logam tanah jarang, termasuk dengan memperkuat produksi domestik dan diversifikasi sumber impor.
Peringkat Negara Berdasarkan Produksi Logam Tanah Jarang Tahun 2024
1. Tiongkok – 270.000 Metrik Ton
Tiongkok mempertahankan dominasinya sebagai produsen utama logam tanah jarang dunia, dengan produksi mencapai 270.000 metrik ton pada 2024. Mayoritas produksi difokuskan pada logam tanah jarang ringan, terutama neodimium dan praseodimium, yang digunakan dalam pembuatan magnet berkekuatan tinggi.
Produksi diatur oleh sistem kuota nasional untuk menekan praktik penambangan ilegal. Tiongkok juga memperkenalkan regulasi baru sejak Oktober 2024 yang mengharuskan pencatatan aliran logistik secara menyeluruh dan sistem pelacakan elektronik.
Perusahaan utama: China Northern Rare Earth High-Tech, yang mengoperasikan kompleks tambang Bayan Obo di Mongolia Dalam.
2. Amerika Serikat – 45.000 Metrik Ton
AS memproduksi 45.000 metrik ton pada 2024, sepenuhnya berasal dari tambang Mountain Pass di California yang dioperasikan oleh MP Materials. Pemerintah AS menilai logam tanah jarang sebagai mineral kritis dan memperketat kebijakan impor, termasuk dengan rencana tarif 25% terhadap magnet tanah jarang asal Tiongkok yang akan berlaku mulai 2026.
Fakta geopolitik: Presiden Donald Trump mempertimbangkan akuisisi wilayah seperti Greenland dan Kanada untuk mengamankan pasokan logam strategis.
Baca Juga: Perang Dagang Berkobar, Tiongkok Setop Ekspor Tanah Jarang
3. Myanmar – 31.000 Metrik Ton
Meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, Myanmar masih menjadi pemasok utama logam tanah jarang berat ke Tiongkok, termasuk disprosium dan terbiumnya. Namun, praktik penambangan di negara ini kerap melibatkan milisi bersenjata dan berdampak lingkungan parah, khususnya di negara bagian Kachin.
4. Australia – 13.000 Metrik Ton
Dengan cadangan besar dan kebijakan pemerintah yang proaktif, Australia tetap menjadi pemain penting di luar Tiongkok. Proyek Nolans oleh Arafura dan penyulingan Enneaba oleh Iluka Resources mendapatkan dukungan dana dari pemerintah federal.
Perusahaan unggulan: Lynas Rare Earths (tambang Mount Weld).
5. Nigeria – 13.000 Metrik Ton
Nigeria menunjukkan peningkatan tajam dan mulai masuk jajaran produsen utama. Pemerintahnya menandatangani MoU dengan Prancis untuk mengembangkan sektor mineral kritis.
6. Thailand – 13.000 Metrik Ton
Thailand mengalami pertumbuhan eksponensial dari hanya 1.000 metrik ton pada 2018. Negeri ini menjadi sumber penting bagi pasokan Tiongkok dan berkembang sebagai basis produksi EV oleh perusahaan seperti BYD.
7. India – 2.900 Metrik Ton
India memiliki potensi besar berkat cadangan pasir mineral di pesisirnya, namun produksi masih rendah. Bergabungnya India ke dalam Minerals Security Partnership (MSP) menunjukkan komitmen dalam pengembangan pasokan berkelanjutan.
Baca Juga: Inilah Ambisi Rusia dalam Industri Logam Tanah Jarang
8. Rusia – 2.500 Metrik Ton
Rusia tetap stagnan dalam produksi, namun mengincar peningkatan signifikan hingga 10% dari pangsa dunia pada 2030. Proyek besar seperti Tomtor kini dipertanyakan karena konflik kepentingan antara pemerintah dan swasta.
9. Madagaskar – 2.000 Metrik Ton
Dengan cadangan besar di Semenanjung Ampasindava, potensi Madagaskar sangat tinggi. Namun, protes masyarakat lokal dan tekanan lingkungan menghambat ekspansi. Akuisisi Base Resources oleh Energy Fuels menunjukkan minat investor asing tetap tinggi.
10. Vietnam – 300 Metrik Ton
Vietnam menargetkan produksi 2 juta metrik ton per tahun pada 2030, namun kasus korupsi pada 2023 menghambat ekspansi industri. Investor kini lebih berhati-hati meski potensi cadangan sangat besar.