Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uniqlo, merek pakaian asal Jepang, kini menghadapi seruan boikot dari konsumen di Tiongkok setelah CEO Fast Retailing, Tadashi Yanai, mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut tidak menggunakan kapas dari wilayah Xinjiang, yang sebelumnya dituding menjadi lokasi kerja paksa terhadap minoritas Uighur dan Hui Muslim.
Dalam wawancara dengan BBC minggu ini, Yanai menyatakan bahwa Uniqlo "tidak menggunakan" kapas dari Xinjiang. Meski demikian, ia menolak memberikan rincian lebih lanjut dengan alasan topik tersebut terlalu sensitif secara politik.
Kontroversi Terkait Kapas Xinjiang
Xinjiang, yang menyumbang 87 persen produksi kapas Tiongkok dan sekitar 23 persen pasokan kapas global pada 2020–2021, menjadi pusat kontroversi internasional.
Tuduhan adanya kerja paksa terhadap etnis minoritas di wilayah ini telah memicu tekanan terhadap banyak perusahaan global. Pemerintah Tiongkok membantah keras tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai "kebohongan abad ini."
Baca Juga: 10 Orang Terkaya di Asia Tahun 2024: Masih Ada Mukesh Ambani dan Prajogo Pangestu
Perusahaan-perusahaan yang membeli produk dari Xinjiang, termasuk kapas, telah menghadapi tekanan dari konsumen Barat dan sanksi yang dipimpin AS. Pada 2022, AS memberlakukan regulasi ketat terkait impor barang dari wilayah ini untuk memerangi dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Reaksi Konsumen di Tiongkok
Pernyataan Yanai memicu kemarahan di platform media sosial Tiongkok seperti Weibo, di mana dua tagar terkait menjadi viral pada Jumat. Banyak pengguna mengkritik sikap Uniqlo dan menyatakan akan memboikot merek tersebut.
Salah satu pengguna Weibo menulis, "Dengan sikap seperti ini dari Uniqlo, dan pendirinya yang begitu arogan, mereka mungkin berpikir konsumen di daratan Tiongkok akan melupakan ini dalam beberapa hari dan kembali membeli. Bisakah kita berdiri teguh kali ini?"
Pengguna lain menambahkan, "Tampaknya saya harus berhenti membeli produk Uniqlo di masa depan."
Baca Juga: APSYFI: China Tak Jadikan Indonesia Sebagai Hub, Tapi Sebagai Pasar Barang Murah
Di platform X, akun bernama Shanghai Panda yang memiliki lebih dari 110.000 pengikut menyatakan: "UNIQLO menolak kapas Xinjiang. Orang Tiongkok harus menolak UNIQLO."
Tantangan Bisnis Uniqlo di Pasar Tiongkok
Tiongkok merupakan salah satu pasar terbesar bagi Uniqlo, yang menghasilkan lebih dari 20 persen dari total pendapatannya di wilayah Greater China, termasuk Taiwan dan Hong Kong.
Yanai menyebutkan bahwa saat ini Uniqlo memiliki 900 hingga 1.000 toko di Tiongkok, dan ia optimistis dapat meningkatkan jumlah tersebut menjadi 3.000 toko.
Namun, tekanan konsumen yang disertai dengan reaksi keras terhadap merek internasional lainnya menunjukkan risiko yang signifikan.
H&M, misalnya, pernah menghadapi dampak besar setelah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan kapas Xinjiang, termasuk dihapus dari platform e-commerce utama Tiongkok.
Pernyataan Pemerintah Tiongkok
Menanggapi isu ini, juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok berharap perusahaan-perusahaan internasional dapat "menghilangkan tekanan politik dan gangguan negatif" serta membuat keputusan bisnis secara independen demi kepentingan mereka sendiri.
Baca Juga: Nikkei Jepang Anjlok, Eskalasi Konflik di Timur Tengah Membebani Sentimen Risiko
Di sisi lain, Tiongkok pada 2021 menuding negara-negara Barat sengaja "memalsukan kebohongan seperti kerja paksa" untuk menciptakan pemisahan industri yang dipaksakan, menghambat lapangan kerja di Xinjiang, dan menekan perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Dampak terhadap Reputasi Global
Kontroversi ini menempatkan Uniqlo dalam dilema antara mempertahankan pasar Tiongkok yang besar dan menghadapi tekanan internasional terkait etika bisnis.
Dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu-isu hak asasi manusia, keputusan seperti ini dapat memengaruhi strategi ekspansi global dan citra merek Uniqlo di masa depan.