Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Pemerintah China tengah berupaya meredam risiko utang pemerintah daerah yang menggendut hingga US$ 9 triliun tanpa adanya dana cadangan.
Dikutip dari Bloomberg, akibat utang tersebut terpaksa membuat pemerintah mengharuskan para pejabat di provinsi untuk memperkecil pengeluaran mereka.
Pasalnya utang membengkak karena pemda mengajukan kredit yang besar melalui LGFV (Local Government Financing Vehicle) atau perusahaan investasi yang membiayai pengembangan real estate dan proyek infrastruktur lokal lainnya di pemda.
Pemerintah pusat mengharuskan para pemda tersebut merestrukturisasai utang tanpa menurunkan pertumbuhan ekonomi. Jika mereka gagal, hal ini justru dapat memperpanjang derita ekonomi China yang melesu.
Di sisi lain, saat dilema utang yang membengkak, satu-satunya yang menjadi harapan saat ini adalah pendapatan dari LGFV dari proyek-proyek yang sudah berjalan. Namun, nampaknya hal ini tidak akan berjalan mulus untuk beberapa perusahaan di daerah pedalaman yang lebih miskin.
Pasalnya beberapa LGFV belum mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar bunga pinjaman utang. Di sisi lain, bank-bank juga tidak mau memberikan pinjaman, sementara investor enggan untuk menempatkan dananya ke obligasi karena adanya pemotongan bonus, sehingga semakin sulit menemukan proyek-proyek investasi yang layak.
Baca Juga: BRICS Undang 6 Negara Ini untuk Gabung, Ada Arab Saudi, Iran, Ethiopia, Argentina
Jika pemerintah pusat enggan untuk mencadangkan dana talangan, maka pemda akan semakin banyak menanggung beban pembayaran utang. Sementara itu, bank-bank juga ikut terlibat karena ditugaskan untuk menurunkan suku bunga dan memperpanjang masa jatuh tempo utang tersebut.
Kedua opsi tersebut akan membatasai kapasitas pemda dan bank-bank China untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Para investor mengkhawatirkan terjadinya gagal bayar senilai US$ 2 triliun pada obligasi LGFV. Nilai tersebut mencakup setengah dari pasar utang koporasi dalam negeri, dan ini akan mengacaukan sistem keuangan China senilai US$ 60 triliun yang akan menimbulkan masalah baru di ekonomi global.
Direktur riset Rhodium Group di pasar China Logan Wright mengatakan, jatuhnya investasi pemerintah daerah akan sebanding dengan dampak ekonomi dari krisis di pasar properti. Sehingga menjadi variabel terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi China selama dua tahun ke depan adalah keberhasilan atau kegagalan restrukturisasi utang pemerintah lokal.
Sebelumnya Partai Komunis China telah memberi isyarat pada Juli lalu mengenai langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan risiko-risiko hutang, yang pemerintah juga tampaknya sedang menindaklanjutinya.
Sehingga hal ini memungkinkan provinsi-provinsi di China untuk dapat membayar utang LGFV, dari penjualan obligasi sekitar US$ 137 miliar. Meskipun jumlah tersebut hanya sebagian kecil yang dapat terbayarkan.
Pemerintah China kemungkinan akan mempertimbangkan untuk menggunakan bank sentral sebagai penyelematan dengan menyediakan likuiditas bagi LGFV.
Namun, cara tersebut telah dilakukan sebelumnya dengan menyuntikkan aset milik negara ke dalam perusahaan-perusahaan tersebut dan mengizinkan mereka untuk memasuki area bisnis baru untuk menghasilkan pendapatan demi membayar utang mereka sendiri, tapi hasilnya tidak sesuai harapan. Meskipun demikian, pemerintah China akan tetap melakukan upaya ini kembali untuk penyelamatan.
Pemerintah China berupaya agar LGFV lebih mandiri secara finansial. Perusahaan ini diberikan izin untuk menjual batu bara ke pabrik-pabrik.
Namun keuntungan dari bisnis tersebut tidak cukup untuk menutupi pembayaran bunga perusahaan. Alhasil, laporan terakhir menunjukkan bahwa utang jangka pendek perusahaan mencapai enam kali lipat dari jumlah dana yang dimiliki.
Asal tahu saja, Tiongkok memiliki ribuan LGFV yang tersebar di seluruh negeri, bisnis yang didirikan untuk mengembangkan ekonomi lokal. Saat masih jaya, mereka bisa menyumbangkan lebih dari 5 triliun yuan untuk ekonomi China pada tahun lalu.
Perusahaan-perusahaan ini bergantung pada Pemda untuk mendapatkan pemasukan, dalam bentuk pembayaran infrastruktur dan subsidi murni. Mereka juga meminjam dari bank dan dengan menjual obligasi, yang secara umum dianggap sebagai jaminan implisit dari pemerintah untuk pembayaran kembali.
Namun, LGFV kini berada di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertama, sejumlah besar utang LGFV akan jatuh tempo. Kedua, Pemda terutama di daerah yang lebih miskin, mengalami penurunan pendapatan karena penurunan penjualan rumah selama dua tahun.
Dan ketiga, bank dan investor menjadi kurang yakin bahwa pemerintah akan menalangi beberapa LGFV jika mereka bangkrut, sehingga mereka menaikkan suku bunga obligasi dan pinjaman, dan mempersulit perusahaan-perusahaan yang lebih lemah untuk mengakses pembiayaan.
Pasar saat ini hanya menambah rentetan masalah, apalagi sejak pemerintah pusat mulai mengisyaratkan tidak akan membantu pemda dengan dana talangan.
Di sisi lain investor menuntut LGFV di daerah yang lebih miskin untuk menerbitkan obligasi dengan suku bunga yang lebih tinggi atau jatuh tempo yang lebih pendek. Ini menyebabkan meningkatnya beban utang. Bahkan beberapa daerah telah dibekukan dari pasar obligasi.
LGFV menyebutkan, bank-bank menuntut suku bunga hampir 10% untuk pembiayaan kembali. Akibatnya LGFV melakukan pemotongan gaji staf yang merugikan ekonomi lokal. Para ekonom memperkirakan LGFV tersebut mendanai seperlima hingga lebih dari separuh dari total pengeluaran infrastruktur Tiongkok.
LGFV sudah gagal membayar dengan tingkat bunga yang tinggi atas tagihan yang terutang kepada perusahaan konstruksi dan bank, sehingga proyek-proyek tidak dapat diselesaikan dan para investor tidak mendapatkan keuntungan.
Bahkan di beberapa daerah yang mana pemda memiliki aset yang berharga, namun politik dapat menghalangi penggunaannya. Beberapa perusahaan dipaksa menyuntikkan dana ke LGFV, tapi mereka tidak punya kuasa atas kepemilikan saham tersebut.
Salah satu aset bagus yang tersedia untuk pemda adalah jalan tol, dan dapat menghasilkan pendapatan dari biaya tarif tol. Pemda yang terlibat dalam bisnis tersebut memiliki peluang untuk membayar utang.
Namun akibatnya perusahaan membangun banyak jalan, penambahan jalan baru tidak menghasilkan keuntungan yang baik. Jadi untuk mendanai investasi baru, perusahaan ini sedang melakukan transformasi parsial menjadi ekuitas swasta dan dana modal ventura.
Berkat kepemilikan pemerintah, LGFV dapat meminjam dengan lebih murah dibandingkan perusahaan swasta atau perusahaan baru. Namun saat ini sulit untuk menemukan proyek-proyek yang bagus untuk diinvestasikan karena ekonomi riil tidak berjalan dengan baik.
Untuk memastikan investasi infrastruktur di daerah-daerah yang lebih miskin tidak akan runtuh, pemerintah mengijinkan pemda menjual obligasi "tujuan khusus" senilai 3,8 triliun yuan tahun ini untuk membangun jalan, rel kereta api dan jembatan. Namun penerbitan obligasi ini tidak tumbuh cukup cepat untuk menutupi penurunan pinjaman LGFV.
Pejabat pemda China tidak ingin karier mereka hancur karena LGFV mereka gagal bayar obligasi, sehingga mereka terus mengumpulkan uang tunai, terkadang di menit-menit terakhir, untuk membantu mereka membayar utang. Hal ini membuat pemda memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan untuk belanja infrastruktur.
Dus, para ekonom pun memperkirakan investasi infrastruktur di bidang air, jalan, dan proyek-proyek berimbal hasil rendah lainnya akan melambat dalam satu dekade ke depan, sehingga menurunkan pertumbuhan nasional negara China.
Mantan eksekutif LGFV bahkan memproyeksikan masa depan dari LGFV untuk berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur kesejahteraan masyarakat telah berakhir.
Baca Juga: Ekonomi China Melambat, Gubernur BI: Indonesia Bisa Andalkan Sektor Domestik