Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam 11 hari menjelang pemilihan umum di Amerika Serikat, perhatian publik terfokus pada dua kandidat utama: Wakil Presiden Kamala Harris dan mantan Presiden Donald Trump.
Dalam periode kritis ini, keduanya berusaha untuk menarik perhatian pemilih, sementara para pemilih sudah mulai memberikan suara mereka dalam jumlah yang signifikan.
Kamala Harris: Menyapa Kelas Menengah di Georgia
Wakil Presiden Kamala Harris mengadakan kampanye di Georgia, di mana ia menarik sekitar 20.000 orang.
Selain Harris, acara ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh terkenal seperti musisi ikonik Bruce Springsteen, mantan Presiden Barack Obama, sutradara Spike Lee, dan aktor serta pembuat film Tyler Perry.
Baca Juga: Apa Alasan Tersembunyi Elon Musk Dukung Donald Trump pada Pemilihan Presiden AS 2024?
Kehadiran tokoh-tokoh ini menunjukkan dukungan luas terhadap kampanye Harris, terutama dalam upayanya untuk menjangkau kelas menengah Amerika.
Harris memfokuskan pesannya pada isu-isu kesehatan dan ekonomi.
Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya pengurangan biaya dan rencana untuk mendukung usaha kecil.
Ia juga menyoroti bahwa larangan aborsi adalah tindakan "amoral", yang menunjukkan komitmennya terhadap hak-hak perempuan.
Pidato ini mendapat sambutan positif dari para pendukungnya, yang merasa terinspirasi oleh visi yang ia tawarkan.
Donald Trump: Menyasar Pemilih di Arizona dan Nevada
Di sisi lain, Donald Trump juga tidak tinggal diam. Ia menggelar kampanye di Arizona dan Nevada, di mana ia menyampaikan janji untuk melakukan deportasi terbesar dalam sejarah jika terpilih kembali.
Dalam pidatonya, Trump mengkritik Harris dengan menyebut penampilannya di acara town hall CNN sebagai "pathetic".
Baca Juga: Harris Unggul Tipis atas Trump dalam Jajak Pendapat Terbaru
Ia juga berusaha menjangkau komunitas minoritas dengan menawarkan janji pembangunan ekonomi yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat, termasuk komunitas Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia.
Trump mendapatkan perhatian di kampanye Las Vegas dengan menekankan isu-isu biaya hidup, pekerjaan, dan inflasi yang menjadi kekhawatiran utama para pemilih.
Ia menggambarkan situasi imigrasi sebagai ancaman, dengan retorika yang tajam mengenai "migrant gangs" yang memasuki AS.
Retorika ini berfungsi untuk menarik perhatian pemilih yang merasa khawatir dengan isu keamanan dan ekonomi.
Tren Suara: Harris dan Trump dalam Hitungan Suara
Hingga malam Kamis, lebih dari 30 juta pemilih telah memberikan suara, mencatat rekor baru untuk pemungutan suara awal di beberapa negara bagian, meskipun jumlahnya masih jauh di bawah angka pemilu 2020.
Menurut survei terbaru dari Financial Times, Trump sedikit mengungguli Harris dalam kepercayaan publik terkait penanganan ekonomi, di mana 44% responden lebih mempercayai Trump dibandingkan 43% untuk Harris.
Baca Juga: Eminem Dukung Kamala Harris: Mengapa Suara Kita Sangat Penting dalam Pemilu?
Namun, dalam analisis yang dilakukan oleh FiveThirtyEight, Harris masih memimpin Trump dalam survei nasional dengan keunggulan 1,7 poin persentase.
Meskipun demikian, tren menunjukkan bahwa jarak antara keduanya semakin menyusut.
Di negara-negara bagian kunci, seperti Pennsylvania, Georgia, dan Arizona, Trump menunjukkan sedikit keunggulan, namun setiap hasil survei berada dalam margin kesalahan, menunjukkan betapa ketatnya perlombaan ini.
Fokus Kampanye Mendatang: Strategi dan Upaya
Harris direncanakan akan menggelar kampanye di Houston, Texas, pada hari Jumat yang akan menampilkan legenda musik country, Willie Nelson.
Dalam acara ini, Harris akan menyoroti batasan ketat terkait aborsi yang berlaku di Texas, berusaha menarik perhatian pemilih yang peduli dengan isu-isu hak asasi manusia.
Sementara itu, Trump akan tampil di podcast populer Joe Rogan, di mana ia berharap untuk menjangkau audiens yang lebih muda.
Baca Juga: Donald Trump Gunakan Retorika Rasis untuk Menyerang Kamala Harris
Meskipun Rogan sebelumnya pernah mengkritik Trump, dia belakangan mengungkapkan kekagumannya terhadap pencapaian ekonomi selama masa kepresidenan Trump.
Taktik ini bertujuan untuk membangun kembali dukungan di kalangan pemilih muda yang mungkin ragu-ragu.