Sumber: Yahoo Finance | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
3. Kekhawatiran gelembung AI
Sektor kecerdasan buatan (AI), yang sebelumnya menjadi motor utama pasar, mulai goyah pada paruh kedua 2025.
Meningkatnya keraguan terhadap valuasi dan kepastian monetisasi membuat investor berbasis momentum mengurangi eksposur terhadap aset berisiko.
Dalam kondisi normal, Bitcoin cenderung bergerak seperti aset berisiko yang sensitif terhadap likuiditas. Ketika selera risiko menurun, kripto pun ikut melemah. Faktor ini dinilai lebih berpengaruh dibandingkan katalis khusus kripto lainnya.
4. Luka dari ‘Red October’
Peristiwa likuidasi besar senilai US$ 19 miliar pada Oktober memberikan dampak berkepanjangan bagi Bitcoin.
Meski harga sempat pulih secara kasat mata, kerusakan di balik layar masih terasa. Penyedia likuiditas dan market maker yang menyerap aksi jual paksa tersebut perlahan mengurangi eksposur mereka, sehingga menciptakan tekanan harga yang terus membayangi hingga akhir tahun.
Tonton: Bea Keluar Emas Berlaku Mulai Tahun Depan, Begini Efeknya Terhadap Dominasi Antam
Prospek 2026
Meski harga Bitcoin melemah, Brickell dan Mills tetap optimistis dalam jangka panjang.
Menurut mereka, sistem keuangan berbasis mata uang fiat yang digerakkan oleh utang membutuhkan utang dan defisit yang terus membesar agar bisa bertahan. Hal ini memaksa bank sentral untuk terus memperluas neraca keuangan melalui pencetakan uang demi menyediakan likuiditas.
“Secara harfiah, tidak ada yang bisa menghentikan kereta ini,” tulis mereka.
Kesimpulan
Pelemahan harga Bitcoin di akhir 2025 bukan semata akibat sentimen negatif, melainkan kombinasi tekanan pasokan dari investor lama, perilaku pasar yang masih terjebak narasi siklus empat tahunan, menurunnya minat terhadap aset berisiko akibat kekhawatiran gelembung AI, serta dampak lanjutan dari likuidasi besar pada Oktober. Meski demikian, analis tetap menilai prospek jangka panjang Bitcoin masih kuat, seiring tantangan struktural pada sistem keuangan global berbasis utang dan fiat.













