Sumber: Arab News | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - TRIPOLI. Kekhawatiran akan pecahnya perang Libya kembali memuncak, setelah Turki menyampaikan ancaman langsung kepada Komando Pasukan Timur Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Khalifa Haftar pada Senin (28/12).
Turki selama ini memang diketahui berdiri di sisi Pemerintah Libya (GNA) yang berpusat di Tripoli. Sementara pasukan LNA yang dipimpin Haftar mendapatkan dukungan dari Rusia, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir.
Sebelumnya, pada Minggu (27/12), Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar melakukan kunjungan mendadak ke kamp pasukan Turki yang ada di Tripoli.
Dalam kesempatan itu, Akar memperingatkan kepada para tentara bahwa Haftar beserta pasukan yang dipimpinnya merupakan target utama di manapun mereka berada.
Baca Juga: Pemimpin Hizbullah Lebanon: Kami bisa serang Israel di titik manapun
"Penjahat perang ini, Haftar dan pendukungnya harus tahu bahwa jika ada upaya untuk menyerang pasukan Turki, pasukan pembunuh Haftar akan dipandang sebagai target yang sah di manapun," ungkap Akar, seperti dikutip dari Arab News.
Kunjungan mendadak Akar juga terjadi dua hari setelah Haftar mendesak para pejuangnya untuk mengusir pasukan Turki dari Libya. Kedekatan momen ini semakin memicu kekhawatiran akan pecahnya perang Libya yang baru.
"Tidak akan ada perdamaian dengan kehadiran penjajah di tanah kami," lanjut Akar.
Bentuk tantangan
Setelah kunjungan berakhir, Akar diprediksi akan meluncurkan proyek kerjasama militer antara Turki dan Libya dalam waktu dekat. Bukan tanpa alasan, pekan lalu parlemen Turki telah menyetujui mosi untuk memperpanjang penempatan pasukan di Libya selama 18 bulan.
Baca Juga: Lintasi langit Lebanon, jet tempur Israel kembali gempur Suriah
Dalam mendukung GNA, Turki telah mengirim penasihat militer, drone canggih, dan ribuan tentara bayaran Suriah. Turki juga mendirikan pangkalan militer besar di wilayah Al-Watiya di perbatasan Libya dengan Tunisia.
Analis keamanan Oded Berkowitz menganggap manuver Turki melalui menteri pertahanannya tersebut merupakan bentuk tantangan atau ancaman, namun cukup tersirat.
"Pernyataan terbaru merupakan ancaman samar menyusul ancaman awal yang sebelumnya datang dari Haftar ke pasukan Turki. Ini adalah serangan verbal yang sedikit lebih agresif dari biasanya, karena seringkali ini tidak termasuk ancaman langsung ke LNA," papar Berkowitz kepada Arab News.
Pada Oktober lalu, LNA dan GNA sepakat melakukan gencatan senjata. Atas dasar kesepakatan tersebut, kedua pihak diharapkan bisa segera melakukan komunikasi politik dengan PBB sebagai penanggung jawab.