Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ada kemungkinan masa jaya Labubu akan segera berakhir. Analis mengingatkan, penjualan Labubu di pasar mulai menyerupai siklus penjualan Beanie Babies, mainan berbentuk hewan yang populer di akhir 1990-an dan kini sudah runtuh.
Beanie Babies melonjak nilainya pada akhir 1990-an hingga dianggap sebagai investasi finansial. Gelembung tersebut meletus sekitar tahun 1999. Kini mainan-mainan tersebut, yang diciptakan oleh perusahaan tertutup TY Inc., sebagian besar tidak lagi berharga.
Melinda Hu, analis riset senior saham konsumen Asia di Bernstein Hong Kong menilai, hype atas boneka Labubu akan segera mencapai puncaknya. Setelah mencapai puncak, ada keraguan faktor apa yang bisa mendorong penjualan ke depan.
“Kelangkaan, perburuan, lonjakan dopamin, dan pasar sekunder yang memicu popularitas Labubu menyerupai siklus spekulatif Beanie Babies,”, kata Hu, seperti dikutip Bloomberg, Minggu (16/11/2025). Hu saat ini merupakan satu-satunya analis yang memberikan rekomendasi jual untuk Pop Mart International Group Ltd, produsen Labubu.
Baca Juga: Usai Bertemu Mitra Ojol, Komisi V DPR Bakal Segera Panggil Menhub hingga Aplikator
Sekadar informasi, saham emiten yang terdaftar di bursa saham Hong Kong tersebut telah anjlok lebih dari 30% dari level tertingginya di Agustus. Salah satu penyebab penurunan harga adalah lantaran seorang karyawan tidak sengaja terdengar mempertanyakan harga salah satu produk blind-box Pop Mart dalam sebuah acara streaming langsung.
Tapi sebelum turun, harga saham Pop Mart mengalami reli panjang, yang membuat harga saham melonjak lebih dari 1.500% dari awal tahun lalu ke level tertingginya di Agustus.
Setidaknya 42 dari 46 analis yang melakukan analisis terhadap saham Pop Mart masih memberikan rekomendasi beli atau setara untuk Pop Mart. Tiga lainnya memberikan rekomendasi tahan.
Baca Juga: PTPP Targetkan Divestasi Rp 3,06 Triliun pada Akhir 2025, Begini Detailnya
Posisi trader di bursa saham juga menunjukkan meningkatnya keraguan atas kinerja jangka pendek Pop Mart. Short interest pada saham Pop Mart sebagai persentase dari total free float-nya naik menjadi 2,8% pada Kamis (13/11/2025). Ini level tertinggi sejak April 2024, menurut data S&P Global Inc.
Saham Pop Mart sempat anjlok lebih dari 9% pada 23 Oktober, padahal kinerja keuangan kuartal ketiga perusahaan tersebut melampaui perkiraan. Pop Mart dinilai gagal meredakan kekhawatiran terkait potensi perlambatan pertumbuhan hingga tahun 2026.
Ketergantungan perusahaan ini pada Labubu telah menjadi penyebab kekhawatiran investor yang semakin meningkat. Seri produk Monster, di mana Labubu termasuk salah satu karakternya, menyumbang sekitar 35% dari total pendapatan pada semester pertama, naik dari hanya 14% pada tahun sebelumnya.
"Debat bull-bear bermuara pada satu pertanyaan: dapatkah Pop Mart melepaskan diri dari ketergantungan pada Labubu dan mendorong pertumbuhan melalui kekayaan intelektual lainnya?" kata Hu.
Baca Juga: Koperasi Merah Putih Segera Diluncurkan, Diharapkan Ciptakan Bisnis Baru
Bernstein memperkirakan pertumbuhan pendapatan tahunan Pop Mart akan mencapai puncaknya di angka 145% tahun ini. Tapi margin keuntungan akan turun secara bertahap dari level saat ini, seiring dengan meningkatnya biaya pemasaran untuk mempertahankan popularitas kekayaan intelektual dan mendanai ekspansi ke luar negeri.
Kendati begitu, masih cukup banyak analis yang menilai prospek Pop Mart masih positif. JPMorgan Chase & Co menilai Pop Mart masih punya produk lain yang bisa menopang kinerja selain Labubu, yakni Twinkle Twinkle.
“Twinkle Twinkle menarik basis penggemar yang autentik, alih-alih menjadi alternatif ketika konsumen tidak bisa mendapatkan Labubu,” tulis analis Kevin Yin dalam risetnya. Lini mainan bertema bintang tersebut diprediksi akan berkontribusi 8% terhadap penjualan Pop Mart pada 2027, naik dari 2,8% pada paruh pertama tahun ini.













