Sumber: Arab News | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - RIYADH. Keputusan OPEC+ baru-baru ini untuk mengurangi target produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari dibuat semata-mata karena alasan ekonomi, Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan kepada saluran berita Al Arabiya pada hari Selasa.
Para menteri energi dari negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam kelompok itu menyepakati pemotongan tersebut, yang akan berlaku bulan depan, ketika mereka bertemu pada Rabu pekan lalu.
"Keputusan OPEC+ murni ekonomi dan diambil dengan suara bulat oleh negara-negara anggota," kata Pangeran Faisal.
“Negara-negara OPEC+ bertindak secara bertanggung jawab dan mengambil keputusan yang tepat. Negara-negara OPEC+ mencari stabilitas pasar dan untuk mencapai kepentingan produsen dan konsumen,” tambahnya.
Baca Juga: Harga Minyak Pada Akhir Tahun 2022 Bisa Tembus ke Atas US$ 100 per Barel
Dia menambahkan bahwa Riyadh dan Washington menikmati hubungan strategis yang mendukung keamanan regional.
“Kerja sama militer antara Arab Saudi dan AS melayani kepentingan kedua negara dan telah berkontribusi pada stabilitas kawasan,” katanya.
“Hubungan kami dengan Amerika Serikat (telah) institusional sejak hubungan antara kedua negara terjalin,” terangnya.
Beralih ke perang antara Rusia dan Ukraina, Pangeran Faisal mengatakan: “Kami berusaha mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam krisis Ukraina untuk berdialog guna mengakhiri konflik.”
sementara, upaya untuk memperpanjang gencatan senjata di Yaman sedang berlangsung, dan dia menambahkan bahwa pemerintah Yaman telah menunjukkan fleksibilitas dan tanggung jawab yang besar dalam upayanya untuk melindungi kepentingan negara.
Baca Juga: Harga Minyak Turun Lebih Dari 4% Sejak Awal Pekan Hingga Rabu (12/10)
Mengenai pembicaraan dengan Iran, menteri mengatakan mereka belum menghasilkan hasil yang nyata dan bahwa Kerajaan sedang mempertimbangkan untuk memasuki putaran keenam negosiasi. Soal hubungan antara Arab Saudi dan China, Pangeran Faisal mengatakan, pertama, ekonomi dan dengan pemikiran ini kedua negara memiliki banyak proyek bersama yang sedang berlangsung.
Menteri juga menyatakan harapannya bahwa Irak akan “mengatasi gejolak politik yang saat ini menimpanya.”