Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Uni Emirat Arab (UEA) akhirnya menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) terkait pembelian puluhan unit armada udara baru, yang terdiri dari jet tempur F-35 dan drone MQ-9 Reaper, pada Rabu (20/1).
Dilansir dari Reuters, UEA resmi memboyong 50 jet tempur F-35 dan 18 drone serbu MQ-9 Reaper.
Hanya, berhubung kesepakatan ini disahkan beberapa jam sebelum Joe Biden resmi menjabat sebagai Presiden AS, maka Biden menyatakan akan mengkaji kembali kesepakatan tersebut.
Jet tempur siluman F-35 buatan Lockheed Martin telah lama diincar UEA sebagai salah satu sekutu terdekat AS di Timur Tengah. Proses pembelian mulai berjalan mulus setelah UEA sepakat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel pada Agustus tahun lalu.
Reuters melaporkan, dokumen perjanjian yang telah ditandatangani memberi UEA kesempatan untuk menerima jadwal yang telah dinegosiasikan dan konfigurasi jet.
Baca Juga: Satu lawan satu, jet tempur Su-57 Rusia diklaim bisa bunuh F-35 AS dengan mudah
Menurut sumber yang dihubungi Reuters, UEA telah memegang dokumen selama lebih dari seminggu. UEA dan AS sebelumnya berharap bisa menyelesaikan kesepakatan pada Desember tahun lalu.
Sayangnya, detail mengenai waktu pengiriman, biaya, dukungan teknologi, serta program pelatihan yang terkait dengan pembelian tersebtu memperpanjang proses negosiasi.
Sempat ditentang kelompok HAM
Untuk saat ini kedua pihak belum mengumumkan kapan proses pengiriman jet F-35 akan mulai dilakukan. Namun berdasarkan proposal awal yang dikirim ke UEA, proses akan dimulai pada tahun 2027 mendatang.
Baca Juga: USS Constellation, kapal perang baru AS menuju era peperangan elektronik
Pada Desember lalu, sebanyak 29 organisasi pengawas senjata dan hak asasi manusia telah menandatangani surat yang menentang penjualan jet tempur dan drone senilai US$ 23 miliar ke UEA. Kelompok ini juga meminta Kongres AS untuk memblokir kesepakatan tersebut.
"Harapannya adalah menghentikan penjualan ini sama sekali,” kata Seth Binder, petugas advokasi di Proyek Demokrasi Timur Tengah, yang mempelopori upaya tersebut seperti dilansir Reuters, Selasa (1/12).
"Tetapi jika itu tidak mungkin dalam jangka pendek, ini mengirimkan sinyal penting kepada Pemerintahan Biden yang akan datang bahwa ada berbagai kelompok organisasi yang menentang pengiriman senjata ini," tambahnya.
Surat dari kelompok hak asasi yang dikirim ke anggota parlemen dan Departemen Luar Negeri AS itu mengatakan, penjualan senjata yang direncanakan akan terus merugikan warga sipil dan memperburuk krisis kemanusiaan karena konflik di Yaman dan Libya.
Penandatangan termasuk organisasi hak asasi manusia dari wilayah tersebut, seperti Institut Kairo untuk Studi Hak Asasi Manusia dan Mwatana untuk Hak Asasi Manusia.