Sumber: Kyodo | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Jajak pendapat terbaru yang dilakukan Kyodo News baru-baru ini mengungkap bahwa lebih dari 40% perusahaan Jepang yang diakui pemerintah memiliki teknologi sensitif akan mengalihkan basis manufaktur dan sumber pasokan suku cadang dari China.
Kyodo melaporkan bahwa sejumlah perusahaan tersebut berupaya untuk mengamankan infromasi penting dari China. pengalihan pusat manufaktur juga dilakukan dalam upaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka.
Langkah tersebut juga dilakukan untuk mengurangi ketergantungan para perusahaan pada China dan mengurangi risiko keamanan yang datang.
Jepang bisa dibilang cukup khawatir akan terkena dampak dari meningkatnya persaingan AS-China atas supremasi teknologi. Sejumlah perusahaan medis juga khawatir produksi alat medis di China akan terganggu.
Baca Juga: Minta semua menteri siaga, PM Jepang: Virus corona tidak kenal liburan akhir tahun
Dari total 96 perusahaan yang menjadi responden, 44% atau 42 perusahaan di antaranya mengatakan mereka telah melakukan diversifikasi atau sedang mempertimbangkan untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka dengan pindah ke India dan negara-negara Asia Tenggara.
Kyodo mensurvei sekitar 150 perusahaan besar, dan 96 di antaranya yang memberi tanggapan, termasuk Canon Inc., Toyota Motor Corp., KDDI Corp., NEC Corp., Kobe Steel Ltd. dan Mitsubishi Heavy Industries Ltd.
Hanya 3 responden yang mengatakan mereka telah mengurangi operasi atau menarik diri sepenuhnya dari China. Hal ini menunjukkan bahwa China memang memainkan peran penting bagi kelangsungan bisnis banyak perusahaan Jepang.
Ada 27% atau 26 perusahaan mengatakan mereka akan membatasi penelitian bersama dengan mitra yang dicurigai dapat membocorkan rahasia teknologi.
Baca Juga: Gawat! Makin menyebar ke dunia, ini daftar negara yang melaporkan varian baru corona
Tidak hanya masalah keamanan teknologi dan informasi, perusahaan Jepang juga mulai menyoroti masalah hak asasi manusia yang kerap terjadi di China.
Dalam jajak pendapat, sebanyak 57 responden mengatakan mereka telah memperkenalkan sistem yang berfokus pada hak asasi manusia dalam menjalankan bisnis.
Umumnnya mereka menyadari bahwa setiap perusahaan perlu menyiapkan sistem khusus untuk mengontrol apakah semua produksi yang terkait dengan mereka dilakukan tidak dalam kondisi kerja paksa.
Tindakan ini mulai diambil setelah ditemukan perusahaan multinasional membuat kesepakatan dengan pabrik-pabrik China yang dicurigai memberlakukan kerja paksa pada Uyghur dan etnis minoritas lainnya di China.