Sumber: BLOOMBERG, REUTERS, FT | Editor: Test Test
BANGKOK. Bank sentral beberapa negara berkembang harus bergulat dengan banjir dana panas. Jika tidak dijinakkan, arus dana asing tersebut bisa berdampak negatif. Seperti meningkatkan inflasi dan membuat nilai tukar terus menguat sehingga pendapatan ekspor melorot.
Sejak krisis finansial 2008 merebak, negara-negara maju melonggarkan kebijakan moneter untuk mendongkrak perekonomian yang lesu. Salah satu kebijakan mereka adalah mempertahankan suku bunga di level rendah, bahkan ada yang nyaris menyentuh 0%.
Tentu saja, ini menguak kesempatan bagi para investor di negara maju memanfaatkan pinjaman berbunga murah untuk ditanam di lahan yang memberikan imbal hasil (yield) lebih tinggi. Contohnya, di negara berkembang (emerging market) yang mengenakan suku bunga acuan di atas 3%.
Negara-negara yang menjadi pelarian dana panas itu tak diam begitu saja. Sebut saja, Pemerintah Thailand yang berencana menerapkan pajak 15% untuk keuntungan investor asing yang berinvestasi di obligasi Thailand. Selama ini, Thailand membebaskan pajak obligasi bagi investor asing.
Menteri Keuangan Thailand Korn Chatikavanij mengatakan, kebijakan tersebut untuk menahan penguatan baht terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun ini, baht menguat 11,9%, dari THB 33,98 per dolar AS menjadi THB 29,94 per dolar AS pada Selasa (12/10). “Yang Thailand lakukan sama seperti Brasil ketika nilai tukar real menguat," kata Sim Moh Siong, Analis Valas Bank of Singapore Ltd, Selasa (12/10). Menurutnya, kebijakan ini tidak akan mempan menahan derasnya aliran dana panas di jangka panjang.
Sekadar informasi, Brasil sejak Oktober 2009 mengenakan pajak 2% terhadap dana asing yang masuk ke obligasi dan saham. Sebelum pajak tersebut, aliran dana asing mencapai US$ 200 juta per hari. Pasca dikenai pajak, arus dana asing ke Brasil susut menjadi US$ 100 juta sehari.
Dilema bank sentral
Menurut Su Sian Lim, Ekonom Royal Bank of Scotland (RBS) untuk Asia Tenggara, banjir dana panas ini menimbulkan dilema bagi bank sentral. Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) menahan diri tidak menaikkan suku bunga acuan yang saat ini berada di level 6,5%. "Kalau BI rate naik, dana asing bakal semakin deras mengalir ke SBI dan instrumen keuangan lain," jelasnya. Di sisi lain, tekanan inflasi yang semakin kuat seharusnya ditahan dengan kenaikan suku bunga.
Untuk mengatasi ekses likuiditas, BI telah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Juni lalu, BI menerbitkan paket kebijakan yang mewajibkan investor memegang SBI selama sebulan. Bank sentral juga menerbitkan SBI baru bertenor 9 bulan. Lalu mulai 1 November nanti, BI menaikkan giro wajib minimum (GWM) primer dari 5% menjadi 8%. Kebijakan ini bakal menyedot kelebihan likuiditas Rp 50 triliun dari perbankan.