Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Saat ini, China tengah menghadapi pergulatan besar melawan Covid-19.
Mengutip The Telegraph, asap mengepul sepanjang waktu dari cerobong asap krematorium Beijing. Sementara, mobil jenazah mengantre di luar dan kantong mayat menumpuk di wadah logam.
Di tempat lain, bangsal rumah sakit kota dipenuhi pasien yang sakit parah dan obat batuk yang dijual di sejumlah apotek laku keras.
Media yang dikendalikan negara, ada sedikit mengangkat tentang bencana yang sedang berlangsung ini. Tetapi bagi para ahli di seluruh dunia -dan siapa pun yang memiliki mata mereka sendiri- jelas bahwa China dicengkeram oleh gelombang baru virus corona yang menghancurkan.
Menurut beberapa model prediksi, setelah pelonggaran tiba-tiba aturan "nol Covid" Presiden Xi Jinping, negara itu sekarang berada di jalur infeksi hingga 280 juta dan setidaknya 1 juta kematian saat virus merobek populasi.
Selain jumlah korban manusia yang brutal, virus ini berisiko melumpuhkan ekonomi terbesar kedua di dunia itu saat perekonomian negara tersebut sedang berusaha untuk bangkit.
Baca Juga: Akhirnya, Hong Kong Akan Buka Lagi Perbatasan dengan China Daratan
Ketika pelabuhan ditutup karena penyakit, rantai pasokan macet, dan jutaan konsumen panik, implikasinya mengerikan - baik untuk China maupun Barat, yang membeli begitu banyak barangnya.
Menurut pemodelan oleh perusahaan data Inggris Airfinity, gelombang Covid baru pada awalnya akan mendorong kasus melonjak di Beijing dan provinsi Guangdong - pusat manufaktur utama negara itu - sebelum gelombang kedua ketika virus menyebar ke wilayah lain.
Ini berarti infeksi akan mencapai puncaknya pada 3,7 juta sehari pada 13 Januari, delapan hari sebelum perayaan tahun baru Imlek. Angka ini kemudian akan turun, sebelum naik lagi di musim semi ke puncak lainnya di 4,2 juta pada 3 Maret.
Airfinity mengatakan, hal ini akan mengakibatkan 5.000 kematian dalam sehari.
Angka-angka yang bocor dari dalam rezim Tiongkok sendiri menunjukkan bahwa situasinya mungkin sudah jauh lebih buruk daripada ini.
Kenapa orang hanya mati di Beijing?
Angka-angka tersebut melukiskan gambaran yang sangat berbeda dengan data resmi China yang diterbitkan. Data tersebut mengklaim, kurang dari 10 orang telah meninggal akibat virus corona - semuanya di Beijing - sejak kebijakan nol-Covid Xi secara efektif dicabut pada 8 Desember.
Klaim yang meragukan itu tidak dianggap serius oleh para ahli, atau bahkan warga China.
“Kenapa orang hanya mati di Beijing? Bagaimana dengan wilayah lain?” satu orang memposting di jejaring sosial Weibo.
Hingga perubahan awal bulan ini, strategi nol-Covid China sebagian besar telah mengendalikan virus selama tiga tahun terakhir melalui penguncian dan pengujian yang kejam.
Seluruh kota termasuk Shanghai ditutup selama berminggu-minggu untuk menahan wabah kecil, dengan gedung pencakar langit dan blok apartemen digunakan kembali sebagai pusat karantina untuk menampung yang terinfeksi.
Baca Juga: Covid-19 Menggila, Shanghai Minta Warganya Tinggal di Rumah Saat Natal
Sementara itu, pabrik serta bisnis terpaksa ditutup sementara. Dalam beberapa kasus, orang diusir dari gedung tempat mereka tinggal setelah situs tersebut diambil alih oleh otoritas negara.
Hasilnya adalah kematian yang jauh lebih sedikit daripada banyak negara lain. Kondisi itu membuat Xi menyombongkan diri bahwa pendekatan China hanya mungkin berkat sistem yang dikendalikan partai Komunis. Ini dipandang sebagai sebuah hinaan yang ditujukan kepada rival Barat yang telah menderita jumlah kematian yang lebih tinggi.