Sumber: Telegraph | Editor: Sandy Baskoro
CRIMEA. Rusia pernah bermimpi mengawali era baru. Pada 2011, Dmitry Medvedev, Presiden Rusia kala itu, bersiap menyampaikan pidato utama pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Dia akan menyatakan, "Rusia terbuka untuk dunia bisnis."
Namun, keinginan Rusia tak selalu berjalan mulus. Hanya beberapa hari sebelum Medvedev menyampaikan pidatonya di Davos, sebuah bom bunuh diri meledak di Bandara Domodedovo, Moskow. Bom ini menewaskan 37 orang yang berada di bandara tersibuk di Rusia itu. Lantas harapan baru terhadap Rusia pun berubah.
Tiga tahun kemudian, Vladimir Putin menggantikan Medvedev. Langkah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedelapan di dunia ini tetap kontroversi. Kali ini, hubungan Rusia dan Ukraina memanas. Warga di semenanjung Crimea, pada 16 Maret nanti, berencana menggelar referendum. Agendanya: bergabung dengan Rusia atau tetap bertahan di bawah pemerintahan Ukraina. Ini adalah buntut dari penggulingan Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina yang pro terhadap Rusia.
Kini, Rusia telah mengirimkan 16.000 tentara ke Crimea. Alasannya, warga Crimea, yang mayoritas beretnis Rusia meminta perlindungan. Langkah Rusia menuai kecaman Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kata-kata "Perang Dingin" dan "Tirai Besi" pun dibangkitkan kembali.
Pekan lalu, Uni Eropa mendukung penerapan sanksi terhadap Rusia. Jika Rusia terus mengintervensi militer di Crimea, AS mengancam tidak akan menerbitkan visa bagi pejabat yang bertanggungjawab atas krisis Ukraina dan membekukan semua aset Kremlin di AS.
Rusia bergeming. Hingga kemarin, Negeri Beruang Merah belum menarik pasukannya dari Crimea. Putin tidak gentar terhadap ancaman Barat. Maklumlah, selain memiliki sistem pertahanan dan persenjataan yang solid, Rusia punya posisi tawar kuat terhadap Uni Eropa.
Saat ini, Rusia adalah negara pengekspor energi terbesar di dunia. Rusia juga merupakan salah satu pasar terbesar bagi Inggris, selain Uni Eropa. Menurut data otoritas pajak Inggris, HMRC, nilai ekspor Inggris ke Rusia mencapai US$ 3,9 miliar, naik hampir tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir. Di sisi lain, Inggris mengimpor ribuan ton komoditas per tahun dari Rusia.
Hubungan dagang antara Rusia dan Uni Eropa juga cukup mesra. Kremlin merupakan mitra dagang terbesar ketiga Uni Eropa. Sementara bagi Rusia, Uni Eropa merupakan konsumen terbesar mereka. Hal inilah menyebabkan Uni Eropa setengah hati dalam mendukung sanksi terhadap Rusia.
Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, sangat bergantung dengan Rusia. Sebesar 50% kebutuhan minyak dan 40% kebutuhan gas Jerman dipasok oleh Rusia. Sebagai perbandingan, Inggris hanya membeli 6% dari total kebutuhan gasnya dari Rusia.
Bahkan, negara seperti Finlandia, Republik Ceko, Slowakia, Bulgaria dan negara-negara Baltik sangat bergantung dengan Rusia. Sebesar 100% kebutuhan gas negara tadi berasal dari raksasa energi asal Rusia, yakni Gazprom.
Itu sebabnya, sejumlah analis menilai, penjatuhan sanksi terhadap Rusia amat riskan terutama bagi harga energi. "Harga minyak brent hampir US$ 110 per barel. Jika Rusia dikenakan sanksi, Anda akan mengirim harga energi menyentuh rekor dan banyak negara jatuh ke dalam resesi," ungkap Francisco Blanch, Analis Bank of America Merrill Lynch.