Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - LONDON. Standar pinjaman di pasar kredit yang sedang berkembang pesat memburuk dan produk-produk keuangan yang rumit menutupi risiko bank. Bank for International Settlements (BIS) mengingatkan gelagat ini memiliki paralel dengan situasi menjelang krisis keuangan tahun 2008 silam.
Catatan BIS yang dikutip Reuters, jumlah agunan pinjaman yang dijaminkan atau collateralized loan obligations (CLO), suatu bentuk sekuritisasi yang mengumpulkan pinjaman bank kepada perusahaan-perusahaan, telah menggelembung dalam beberapa tahun terakhir. Ini terjadi ketika para investor memburu return atau imbal hasil yang lebih tinggi dengan membeli pinjaman dari perusahaan-perusahaan yang berperingkat lebih rendah dan lebih berisiko.
Baca Juga: Riset: China harus mengubah cara untuk mendanai perekonomiannya
CLO ini disebut-sebut mirip dengan produk agunan utang yang dijaminkan atau collateralized debt obligations (CDO) yang menggabungkan hipotek sub-prime di Amerika Serikat (AS) menjadi produk kompleks dan dipersalahkan karena memicu krisis keuangan global.
CLO juga memiliki struktur kompleks yang dapat menutupi risiko aset yang mendasarinya.
BIS mengingatkan perburuan investor untuk imbal hasil yang lebih tinggi mengarah pada memburuknya standar yang dapat memicu kerugian yang lebih besar di masa depan.
“Standar penjaminan yang lemah dapat mengurangi kemungkinan gagal bayar dalam jangka pendek tetapi meningkatkan potensi kerugian kredit ketika kegagalan akhirnya terjadi,” tulis Sirio Aramonte dan Fernando Avalos, peneliti BIS dalam laporan triwulanan yang dikutip Reuters.
Baca Juga: Jaga perdagangan derivatif, otoritas AS mewajibkan bank sisihkan uang tunai
Menurut data BIS, pasar CLO yang beredar secara global sekarang diperkirakan mencapai US$ 750 miliar. Sebagai perbandingan, pasar CDO pada tahun 2007 sebelum krisis meledak mencapai US$ 640 miliar.
CLO cenderung jauh lebih kompleks dibandingkan CDO dan menghindari penggunaan derivatif kredit yang rumit. CLO biasanya diinvestasikan ke pinjaman perusahaan-perusahaan yang berperingkat kredit junk atau "sampah", atau perusahaan yang memiliki debt service yang tinggi terhadap pendapatan.
Porsi pinjaman dengan daya ungkit (leverage loan) meningkat menjadi 80% dari semua pinjaman pada tahun 2018, dari 20% pada tahun 2012. Sementara porsi pinjaman dengan peringkat rendah di CLO hampir naik dua kali lipat menjadi 18%, data BIS menunjukkan.
Pasar leverage loan telah menjamur dalam beberapa tahun terakhir menjadi sekitar US$ 1,4 triliun. Sekitar US$ 200 miliar diantaranya dalam mata uang euro dan sisanya dalam dolar AS.
Baca Juga: Berlaku awal 2020, sejumlah bank masih berbenah untuk memenuhi PSAK 71
Bank-bank AS dan Jepang menjadi salah satu investor terbesar di CLO.
Eksposur bank terhadap produk-produk ini memang terkonsentrasi di tahapan-tahapan teratas. Namun pola kepemilikan di antara investor non-bank seperti hedge fund dan perusahaan asuransi lebih sulit dilacak. Oleh karena itu, menurut BIS, bank dapat terkena secara tidak langsung jika gagal bayar atau default meningkat.
Baca Juga: Mendekati akhir 2019, bank kecil masih dalam proses pemenuhan PSAK 71
“Seperti eksposur off-balance bank terhadap CDO, yang merupakan sumber ketidakstabilan pada tahun 2007, eksposur broker utama bank kepada pemegang CLO dapat menghasilkan kerugian yang lebih besar daripada yang tersirat oleh paparan langsung, menciptakan tekanan keuangan yang meningkat,” demikian BIS mengingatkan.