Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Edy Can
KUALA LUMPUR. Bagi pemain minyak kelapa sawit di negara yang belum akrab dengan industri ini, penyempitan lahan bukan masalah utama. Ini dialami beberapa korporasi pekebun sawit di Brasil atau Liberia, yang basis utama pendapatan masyarakat bukan dari crude palm oil (CPO).
Di Brasil, pengembang kebun sawit harus berhadapan dengan ketatnya peraturan dan mahalnya biaya. Karena itu, investasi di kebun sawit di Negara Samba ini belum terlalu besar.
Dari data yang dimiliki Marcello Brito, Comercial and Sustainability Director Agropalma Group, potensial lahan sawit di Brazil mencapai 1,1 juta ha, yang ada di daerah Timur Laut kawasan ini. Namun, yang tertanam hanya sekitar 161.782 hektare (ha) dan pekebun kecil hanya sekitar 27,56 ha.
Agropalma, produsen kelapa sawit terbesar di Brasil ini memiliki 40.000 hektare (ha) kebun sawit tertanam, dan sekitar 10.000 ha kerjasama dengan petani plasma dan kecil (smallholders). Menurut Brito, jumlah lahan sawit masih sangat kecil dibanding perkebunan lain, misalnya pertanian kedelai yang mencapai 22 juta ha.
Penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, aturan lahan yang ketat. Sekitar 50% dari lahan yang dibeli pekebun sawit harus menjadi hutan cadangan. Perusahaan juga wajib menjaga pasokan air di kawasan sekitar. Pekerja di Brasil pun lebih mahal dibanding 44 negara penghasil sawit lainnya, bisa mencapai US$ 14.000 per pekerja panenan setiap tahunnya.
Namun, bukan berarti menanam sawit tidak bisa memberi untung. Beberapa caranya adalah investasi di pelatihan dan alat mesin. "Menanam benih juta menggunakan mesin," kata Brito dalam acara Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-12 di Kuala Lumpur, kemarin (18/11). Selain itu, prospek akan produk minyak kelapa sawit di Brasil sedang berkembang.
Mengurangi kemiskinan
Di Liberia, meski perkebunan sawit dikembangkan untuk mengurangi kemiskinan, ekspansi tak bisa dilakukan dengan mudah. Selain itu, pekebun sawit dituduh dekat dengan deforestasi dan pengambilan lahan. Liberia, yang baru mengakhiri perang saudara panjang pada 2003 lalu, lebih banyak mengandalkan bisnis pertambangan, karet, dan penjualan kayu.
Matt Karinen, Direktur Golden Veroleum (Liberia) Inc (GVL) berniat mengurangi kemiskinan lewat perkebunan sawit. "Saya ingin Liberia seperti Malaysia, ketika industri kebun sawit meningkat, kemiskinan turun," kata dia, dalam Sidang RSPO ke-12 di Kuala Lumpur, kemarin (18/11).
Beberapa tantangan lebih pada sisi sosial. Misalnya, pendidikan warga sekitar yang rendah. "Mereka bisa mencampur bahasa lokal dengan Inggris, tapi tidak bisa baca tulis untuk dokumen resmi," kata Kerinen. Masih juga ada masalah politik antara para elit dan lokal.
Menurut Karinen, ada beberapa cara untuk mengembangkan kebun sawit antara lain dengan mendekati sisi sosial ekonomi warga sekitar lewat metoda free prior and informed consent (FPIC).
Namun, tak banyak pihak di Liberia mengerti mengenai metoda FPIC. Sejauh ini, GVL mengaku mendekati komunitas, bahkan mengizinkan warga langsung terjun dalam pembuatan peta. Perusahaan juga berjanji untuk tidak menyentuh lahan perkebunan warga yang sudah disepakati.
GVL mulai menandatangai kesepakatan konsesi dengan pemerintah Liberia di tahun 2010. Perusahaan ini berkomitmen menjadi investor sampai 65 tahun dan berniat mengembangkan 500.000 acre perkebunan sawit, dan mendorong pembentukan 100.000 acre kebun sawit milik smallholders.