Sumber: Reuters | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - MESIR. Perdana Menteri Theresa May tengah berkutat ditengah kecaman besar yang memaksanya untuk menunda keputusan Brexit. Sebab, langkah ini dinilai berisiko terhadap pertikaian antara kelompok anti-blok Uni Eropa (eurosceptics) di partai konservatinya.
Perbincangan ini mencuat ke publik, beberapa minggu sebelum Inggris resmi meninggalkan Eropa.
Melansir Reuters, Senin (25/2) dengan krisis Brexit di Inggris saat ini, May sedang berjuang untuk mendapatkan beragam jenis perubahan dari Uni Eropa, Ia mengatakan bahwa pihakya perlu mendapatkan kesepakatan terkait perceraiannya melalui parlemen yang terpecah belah untuk memperlancar perubahan kebijakan terbesar di Inggris.
Di Sharm el-Sheikh, Mesir dalam pertemuan KTT Uni Eropa atau Liga Arab, May sudah bertemu dengan para pemimpin blok untuk mencoba mendapatkan dukungan atas upayanya untuk membuat kesepakatan yang lebih menarik bagi parlemen, di sana parlemen yang frustasi sedang bersiap untuk merebut kendali Brexit dari Pemerintah.
Disebut-sebut kalau anggota parlemen sedang mencoba menghentikan rencana Brexit yang seharusnya jatuh pada bulan Maret untuk dibatalkan alias tidak sepakat. Sontak saja, skenario ini menurut banyak pebisnis dapat merusak iklim ekonomi di negara ekonomi terbesar kelima di dunia tersebut.
Beberapa rencana yang ditonjolkan mencakup pasal 50 yang memicu periode negosiasi dua tahun Brexit dan bisa menunda kepergian Inggris di atas tenggat waktu 29 Maret.
"Para Menteri sedang mempertimbangkan apa yang harus dilakukan jika parlemen membuat keputusan itu (tidak sepakat)," ujar seorang pejabat Pemerintah yang dilansir Reuters.
Menteri Pertahanan Tobias Ellwood juga mengataan kepada BBC Radio bahwa jika kesepakatan ini tidak tercapai, maka kemungkinan besar Inggris harus memperpanjang masa pertimbangan Brexit Uni Eropa di lain pihak telah menyebut akan mempertimbangkan perpanjangan proses Brexit.
Namun, hal ini hanya bisa dilakukan jika Inggris dapat memberikan bukti bahwa penundaan tersebut bisa memecah kebuntuan di parlemen. Setelah dengan suara bulat menolak kesepakatan pada bulan lalu.
Dalam KTT Uni Eropa ini, May juga bertemu dengan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte untuk membahas upaya yang jelas guna mendapatkan perubahan yang substansif pada kesepakatan yang disetujui November 2018 lalu.
May perlu menemukan cara untuk meredakan kekhawatiran Inggris atas backstop Irlandia Utara, terkait kebijakan perbatasan masing-masing provinsi Inggris di Irlandia Utara dan sebaliknya Irlandia sebagai anggota Uni Eropa.
Namun, pembahasan ini berjalan alot dan para pejabat di kedua belah pihak semakin menyarankan penundaan.
Sejauh ini May menegaskan bahwa Ia bermaksud untuk memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019, pada hari Minggu (24/2) ketika Ia mengumumkan pemungutan suara hanya dilakukan pada 12 Maret, May menyatakan kesepakatan tersebut masih sesuai ekspektasinya. Tetapi May juga tak memungkiri bahwa ada banyak pihak yang tidak setuju.
Anggota Parlemen di partai Konservatif juga mengatakan bahwa pihak oposisi di Partai Buruh memastikan kalau May tidak dapat membawa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan dalam pemungutan suara yang dijadwalkan hari Rabu.
Yvette Cooper seorang anggota parlemen dari Partai Buruh telah meminta parlemen untuk mendukung upayanya terkait memaksa Pemerintah menyerahkan segala kekuasaan kepada parlemen jika tidak ada kesepakatan yang disetujui pada 13 Maret 2019.