Sumber: BLOOMBERG, VoA, BBC | Editor: Test Test
WASHINGTON. China akhirnya menuruti keinginan negara-negara Barat. Dalam beberapa tahun ke depan, China akan memangkas surplus neraca perdagangannya di bawah 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). China juga akan melanjutkan reformasi yuan. Tahun 2007 lalu, surplus neraca perdagangan China mencapai 11% dari PDB. Kemudian turun menjadi 5,8% PDB di akhir 2009.
Dalam tiga hingga lima tahun ke depan, surplus perdagangan China akan ditekan ke level terendah sejak tahun 2004, yaitu di bawah 4% PDB. Hingga semester I-2010, PDB China mencapai Y 17,28 triliun atau sekitar US$ 2,55 triliun.
Tekanan dari negara-negara maju yang menjadi mitra dagang utama, seperti AS dan negara-negara Eropa, memaksa China mengalah. "Penyesuaian ini memang diperlukan. Kami berkomitmen terhadap rezim nilai tukar yang lebih fleksibel," kata Deputi Gubernur Bank Sentral China Yi Gang dalam diskusi panel dalam pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF), Sabtu (9/10). Meski begitu, Yi bilang, perubahan itu harus dilakukan bertahap.
China membela diri dengan mengatakan bahwa dalam lima tahun terakhir, nilai tukar yuan telah menguat 20%. Menurut Yi, justru kebijakan moneter dari negara-negara maju yang memicu terjadinya perang nilai tukar.
Ia mencontohkan, bunga pinjaman di AS, Jepang, dan negara-negara Eropa yang sangat rendah, membuat investor dari negara-negara tersebut menumpuk investasinya di negara-negara berkembang. "Kami harus melihat masalah ini secara global dan di mana akar permasalahannya," ujar Yi.
Dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia akhir pekan lalu, Pemerintah AS dan Uni Eropa mendesak IMF menjadi polisi nilai tukar dunia. Pemerintah AS dan Uni Eropa menuding, China sebagai penyebab ketidakseimbangan dalam perdagangan dunia. Pasalnya, nilai tukar yuan yang terlalu murah membuat surplus perdagangan China semakin melambung.
Sementara, mitra dagang China mengalami defisit. “IMF memiliki peran penting untuk memastikan proses penyeimbangan kembali perdagangan global ini," kata Menteri Keuangan AS Timothy Geithner.
Hanya retorika China?
Ekonom Senior Bank Mandiri M. Doddy Arifianto menilai, pernyataan China dalam pertemuan IMF tersebut belum bisa dianggap sebagai sesuatu yang pasti. "Ini retorika atau politik China menjawab gertakan dari negara-negara maju," kata Doddy kepada KONTAN, Minggu (10/10).
Ia melihat, perseteruan China dengan negara-negara maju terjadi karena ekonomi negara-negara maju tengah lesu. Mereka sulit mendorong konsumsi dalam negeri. Alhasil, agar perekonomiannya tetap tumbuh, ekspor menjadi tumpuan harapan mereka.
"Ini tidak adil, negara maju minta didukung oleh perekonomian negara-negara berkembang," jelasnya. Padahal, pendapatan per kapita China masih jauh di bawah negara-negara maju tersebut.