Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - BEIJING. China pada hari Senin (12/6) kembali membantah kabar yang menyebut bahwa mereka memiliki fasilitas mata-mata di Kuba. China turut mengecam media dan pemerintah AS karena menyebar informasi yang tidak berdasar.
"Tentang dugaan kegiatan mata-mata China di Kuba, ini adalah informasi yang salah. Selama dua hari terakhir, kami telah melihat pemerintah dan media AS merilis banyak informasi dan tuduhan yang tidak konsisten," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, dikutip Reuters.
Dalam konferensi pers hari Senin, Wang juga mengatakan dia tidak memiliki informasi tentang kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang akan menjadi yang pertama ke China oleh menteri luar negeri AS dalam lima tahun.
Baca Juga: AS Konfirmasi Fasilitas Mata-Mata China di Kuba Telah Ada Sejak 2019
Fasilitas Mata-Mata China di Kuba
Tuduhan tentang keberadaan fasilitas mata-mata China di Kuba muncul saat Blinken bersiap untuk mengunjungi China minggu ini.
Diplomat tinggi AS itu membatalkan rencana perjalanan ke Beijing pada Februari setelah balon mata-mata China yang diduga terbang di langit AS.
Kabar adanya pangkalan mata-mata China di Kuba pertama kali menyeruak lewat laporan The Wall Street Journal (WSJ) yang terbit hari Kamis pekan lalu. Dijelaskan bahwa Kuba secara prinsip telah mencapai kesepakatan untuk membangun stasiun penyadapan elektronik di pulau tersebut.
Baca Juga: 37 Jet Tempur China Mendekat, Sistem Pertahanan Udara Taiwan Masuk Mode Aktif
WSJ melaporkan, China bersedia membayar Kuba dengan nilai miliaran dolar sebagai bagian dari negosiasi. Kondisi ekonomi Kuba yang sedang goyang pun membuat transaksi itu menjadi cukup masuk akal bagi para pengamat.
Laporan tersebut sempat disangkal Gedung Putih. Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengatakan bahwa aktivitas China di Kuba sudah lama terendus dan bukan merupakan aktivitas baru.
Melansir AP News, pihak AS percaya bahwa China telah mengoperasikan pangkalan mata-mata di Kuba setidaknya sejak 2019. Operasi tersebut diduga merupakan bagian dari upaya China untuk meningkatkan kemampuan pengumpulan intelijennya secara global.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Kuba, Carlos Fernandez de Cossio juga membantah laporan tersebut dalam sebuah cuitan di Twitter pada hari Sabtu lalu.
Carlos menyebut laporan itu sebagai fitnah dan dirilis tanpa data dan bukti yang jelas untuk menimbulkan kegaduhan.