Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Anggota parlemen Demokrat AS yang memimpin kasus impeachment alias pemakzulan terhadap Presiden AS dari Partai Republik Donald Trump mengatakan pada hari Sabtu (18/1) bahwa presiden harus dicopot dari jabatannya untuk melindungi keamanan nasional dan melestarikan sistem pemerintahan negara itu.
Melansir Reuters, dalam dokumen setebal 111 halaman yang diajukan sebelum persidangan Senat kasus Trump, para anggota parlemen mengemukakan argumen mereka yang mendukung dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan obstruksi Kongres terhadap presiden.
"Senat harus menghukum dan memakzulkan Presiden Trump untuk menghindari kerusakan serius dan jangka panjang pada nilai-nilai demokrasi kita dan keamanan negara," kata anggota parlemen itu, untuk pertama kalinya secara resmi meminta Senat untuk menghukum presiden dan memecatnya dari jabatan.
Baca Juga: Pengadilan pemakzulan atas Donald Trump di Senat AS resmi bergulir
"Kasus terhadap presiden Amerika Serikat sederhana, faktanya tidak dapat disangkal, dan buktinya sangat banyak," kata mereka seperti yang dikutip Reuters.
Dokumen itu merupakan seruan langsung kepada para senator untuk bersikap tidak memihak. "Sejarah akan menilai kesediaan masing-masing senator untuk naik di atas perbedaan partisan, melihat fakta dengan jujur dan membela Konstitusi," kata para anggota parlemen dalam sebuah pernyataan yang mencatat "Presiden bukan raja."
Tim hukum Trump mengeluarkan penolakan tegas terhadap tuduhan impeachment, yang dibacakan di Senat awal minggu ini. Mereka diprediksi akan merilis tanggapan yang lebih panjang dan terpisah untuk sidang praperadilan Demokrat pada hari Senin.
Baca Juga: Politik AS siap memanas, DPR akan voting dakwaan pemakzulan Trump
Menolak tuduhan itu, pengacara Trump mengulangi desakan presiden, yang digaungkan oleh banyak rekan Republik di Kongres, bahwa tuduhan itu tidak lebih dari upaya partisan untuk mengeluarkannya dari jabatan, "serangan berbahaya pada hak rakyat Amerika untuk secara bebas memilih presiden mereka."