Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Sun mengatakan kepada Kanasugi bahwa Tiongkok akan “pasti dan tegas membalas dengan serangan langsung yang kuat” terhadap upaya apa pun yang dianggap mengganggu reunifikasi Taiwan — dan Jepang harus bertanggung jawab atas konsekuensinya.
Menurut komentar tersebut, langkah lanjutan dapat mencakup penempatan Jepang dalam daftar “entitas tidak tepercaya” atas alasan keamanan nasional, atau bahkan penghentian komunikasi antarpemerintah terkait ekonomi, kebijakan luar negeri, atau militer.
Tiongkok adalah salah satu sumber wisatawan asing terbesar ke Jepang, dengan 7,48 juta perjalanan dari wisatawan asal Tiongkok daratan dalam sembilan bulan pertama tahun ini — naik 42% dibanding periode yang sama tahun lalu, dan merupakan yang tertinggi dari negara mana pun.
Jepang juga menjadi tujuan favorit wisatawan Hong Kong, dengan sekitar 2,6 juta kunjungan tahun lalu.
Dalam pernyataan Sabtu, otoritas Hong Kong mendesak warganya untuk berhati-hati di Jepang dan memprioritaskan keselamatan pribadi, mengutip meningkatnya serangan terhadap warga Tiongkok.
“Pemerintah mengingatkan warga Hong Kong yang berniat berkunjung atau sudah berada di sana agar berhati-hati, memperhatikan keselamatan diri, mengikuti pengumuman terbaru, serta informasi layanan konsuler dari kedutaan atau konsulat Tiongkok,” demikian pernyataan Biro Keamanan Hong Kong.
Langkah Beijing ini menjadi eskalasi terbaru setelah pernyataan Takaichi yang dianggap menunjukkan kemungkinan intervensi Jepang dalam konflik Taiwan. Beijing menilai pernyataan tersebut sebagai perubahan dari sikap ambigu Jepang selama ini mengenai respons terhadap aksi militer terhadap Taiwan, yang berjarak hanya sekitar 107 km dari wilayah Jepang.
Tonton: Utang Luar Negeri AS Capai US$ 8,5 Triliun, Terbesar Utang ke Jepang dan China
Peringatan perjalanan ini dikeluarkan sehari setelah Beijing memanggil Duta Besar Jepang dan menyampaikan protes keras. Sun mengecam pernyataan Takaichi sebagai “sangat salah dan sangat berbahaya”.
Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok dan dapat direbut dengan kekerasan jika perlu. Kebanyakan negara, termasuk AS dan Jepang, tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, tetapi menolak pengambilalihan paksa.
Media pemerintah Tiongkok dalam beberapa hari terakhir meningkatkan kritik terhadap Takaichi. Sabtu lalu, media militer PLA Daily menerbitkan tajuk depan yang mendesak Tokyo “segera memperbaiki kesalahan dan mencabut pernyataan yang sangat merugikan tersebut”.
“[Jepang] tidak boleh terus berjalan di jalur yang salah, jika tidak akan menanggung seluruh konsekuensinya,” tulis artikel itu dengan nama pena Jun Sheng, atau “suara militer”.
Dalam konferensi pers di Tokyo pada Jumat, Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi mengatakan Takaichi tidak akan menarik ucapannya.
Ia membela pernyataan tersebut sebagai gambaran mengenai “situasi mengancam kelangsungan hidup”, istilah dalam undang-undang keamanan Jepang tahun 2015 yang memungkinkan pengerahan militer.
Tokyo menegaskan bahwa pernyataan Takaichi tidak menyimpang dari posisi Jepang terkait Taiwan sebagaimana dinyatakan dalam Komunike Bersama Jepang-Tiongkok tahun 1972.
Pada Jumat, Tokyo memanggil duta besar Tiongkok setelah konsul jenderal Tiongkok di Osaka memposting komentar di media sosial yang menyatakan bahwa “satu-satunya pilihan adalah memenggal kepala kotor yang bertindak sembrono itu”. Postingan itu telah dihapus.
Di Taipei, juru bicara pemimpin Taiwan Karen Kuo mengatakan ancaman Tiongkok terhadap Jepang merupakan “bahaya besar bagi keamanan dan stabilitas kawasan Indo-Pasifik”.
Mantan pemimpin Taiwan, Ma Ying-jeou, menulis di media sosial bahwa komentar Takaichi “sangat tidak bijak” dan pemerintah asing tidak boleh mencampuri urusan lintas selat.
Pengamat di Tiongkok daratan mengatakan reaksi keras Beijing mencerminkan kecurigaan mendalam terhadap sikap Takaichi mengenai Taiwan.
Awal bulan ini, Beijing memprotes keras setelah Takaichi mengunggah foto pertemuannya dengan Lin Hsin-i, mantan pejabat senior Taiwan, di sela-sela KTT APEC di Korea Selatan. Ia menyebut Lin sebagai “penasihat senior kantor kepresidenan Taiwan” dan menyerukan “pendalaman kerja sama praktis Jepang-Taiwan”, yang menurut Beijing “mengirim sinyal salah terhadap kelompok pendukung kemerdekaan Taiwan”.













