Sumber: The Straits Times | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu (29/12) mengutuk aksi keji pasukan militer Myanmar dalam kerusuhan pekan lalu yang menewaskan hingga 35 warga sipil. Termasuk di antaranya adalah pekerja kemanusiaan.
Dalam sebuah sebuah pernyataan yang dirilis dari Rabu, anggota Dewan Keamanan PBB menekankan perlunya memastikan akuntabilitas atas tindakan itu. Mereka juga meminta semua aksi kekerasan untuk dihentikan.
"Kami menyerukan penghentian segera semua kekerasan dan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan memastikan keselamatan warga sipil," ungkap Dewan Keamanan PBB dalam pernyataannya, seperti dikutip The Straits Times.
Baca Juga: Kapal Pembawa Pengungsi Rohingya Terdampar di Aceh
Dalam pernyataannya, Dewan Keamanan PBB juga menekankan perlunya akses kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan ke semua orang yang membutuhkan, termasuk perlindungan keamanan yang penuh kepada personel kemanusiaan dan medis.
Insiden berdarah pekan lalu terjadi pada malam Natal di negara bagian Kayah, di mana pemberontak pro-demokrasi bergerak melawan pasukan militer. Bentrokan berakhir dengan meninggalnya 35 orang, termasuk di antaranya adalah 4 anak-anak dan 2 staf badan amal Save the Children.
Kelompok anti-junta melaporkan mereka telah menemukan lebih dari 30 mayat dalam kondisi terbakar, termasuk wanita dan anak-anak, di jalan raya di negara bagian Kayah.
Dua staf Save the Children sempat dinyatakan hilang sebelum dikonfirmasi menjadi salah satu korban tewas pada hari Selasa (28/12).
Baca Juga: Ratusan Warga Myanmar Kabur ke Thailand Setelah Bentrok dengan Tentara
Myanmar telah jatuh ke dalam kekacauan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari lalu. Kelompok kemanusiaan melaporkan ada lebih dari 1.300 warga sipil yang tewas selama aksi protes berlangsung di hampir seluruh wilayah Myanmar.
Kelompok pejuang yang menamakan diri "Angkatan Pertahanan Rakyat" telah bermunculan di seluruh negeri untuk melawan junta dan membuat pasukan militer kesulitan di banyak titik. Sayangnya, aksi perlawanan yang terus muncul juga menyebabkan angka kematian sipil terus bertambah.
Pada bulan Juni, Majelis Umum PBB sepakat untuk mencegah pengiriman senjata ke Myanmar. Sayangnya, tindakan tersebut dianggap hanya tindakan simbolis karena tidak diputuskan oleh Dewan Keamanan yang memiliki hak lebih kuat.
China dan Rusia, yang memiliki hak veto, adalah pemasok senjata utama ke Myanmar. Dua negara tersebut selalu membatalkan keputusan terkait embargo senjata sejak kudeta dimulai awal tahun ini.