Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden terpilih Donald Trump kembali mencuri perhatian publik dengan rencana kontroversialnya untuk melaksanakan deportasi massal imigran tanpa dokumen.
Dalam pernyataan terbarunya, Trump mengonfirmasi akan mendeklarasikan darurat nasional dan menggunakan militer untuk mendukung program deportasi ini.
Dengan janji melaksanakan apa yang ia sebut sebagai "program deportasi terbesar dalam sejarah Amerika," banyak yang mempertanyakan aspek hukum, logistik, dan dampak sosial dari rencana ambisius ini.
Baca Juga: Donald Trump Rayakan Kemenangan Pemilu dengan Asyik Nonton UFC Bersama Elon Musk
Rencana Deportasi Massal di Bawah Kepemimpinan Trump
Trump menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti janji kampanye tersebut sejak hari pertama masa jabatannya. Dia mengusulkan penggunaan kekuasaan darurat perang, personel militer, dan kolaborasi dengan pemimpin negara bagian yang sejalan dengannya.
Namun, rencana ini hampir pasti akan menghadapi tantangan hukum dan penolakan dari gubernur negara bagian Demokrat, yang telah menyatakan bahwa mereka tidak akan bekerja sama.
Beberapa poin penting dalam rencana deportasi ini meliputi:
- Federalisasi Garda Nasional: Trump dan penasihat utamanya, Stephen Miller, menyarankan agar Garda Nasional dari negara bagian yang dikuasai Republik dikerahkan ke negara bagian Demokrat untuk mendukung penegakan imigrasi.
- Kamp Detensi Skala Besar: Usulan pembangunan kamp detensi untuk menampung jutaan orang sebelum deportasi mereka.
- Penargetan Dreamers dan Imigran Lainnya: Retorika kampanye Trump tidak membedakan secara jelas antara imigran legal dan ilegal, memicu kekhawatiran bahwa program ini dapat mencakup individu dengan status hukum yang sah.
Baca Juga: Musk Effect: Trump Sedang Mencari Cara Melonggarkan Aturan Terkait Mobil Swakemudi
Tim Trump untuk Eksekusi Program Deportasi
Trump telah menunjuk tim loyalis untuk mengimplementasikan kebijakan keras terhadap imigrasi:
- Tom Homan: Mantan direktur ICE, kini menjabat sebagai "czar perbatasan" dengan tugas utama mengoordinasikan deportasi.
- Stephen Miller: Penasihat kebijakan dengan peran strategis dalam menyusun kebijakan imigrasi kontroversial, termasuk pemisahan keluarga.
- Kristi Noem: Gubernur Dakota Selatan, dikenal sebagai garis keras imigrasi, akan menjabat sebagai Menteri Keamanan Dalam Negeri.
Tantangan Logistik dan Hukum
Rencana deportasi massal ini menghadapi sejumlah tantangan besar:
- Biaya yang Membengkak: Menurut perkiraan American Immigration Council, deportasi 1 juta orang per tahun akan menelan biaya lebih dari $960 miliar dalam satu dekade. Anggaran ini mencakup biaya detensi, transportasi, dan proses hukum.
- Dampak pada Ekonomi dan Keluarga: Banyak imigran yang telah tinggal di AS selama lebih dari satu dekade, memiliki pekerjaan tetap, dan tinggal bersama anggota keluarga warga negara AS. Deportasi massal diprediksi dapat mengganggu stabilitas keluarga dan ekonomi.
- Resistensi Hukum: Para ahli hukum memperingatkan bahwa penggunaan militer untuk menegakkan kebijakan domestik dapat melanggar Undang-Undang Posse Comitatus, yang membatasi peran militer dalam penegakan hukum domestik.
Baca Juga: Ramalan Baba Vanga Bikin Merinding, Konflik Besar Terjadi di Eropa Tahun Depan!
Reaksi dan Penolakan
Program deportasi massal ini telah memicu kritik tajam dari kelompok advokasi, Demokrat, dan bahkan sebagian masyarakat umum.
Menurut survei, sebagian besar warga AS menolak deportasi massal setelah memahami dampak sosial dan ekonominya.
Aktivis seperti Greisa Martínez Rosas dari United We Dream Action menuding rencana ini sebagai "strategi menciptakan ketakutan dan kekacauan" di komunitas imigran.