Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada Jumat malam, 4 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu gelombang kritik setelah mengunggah sebuah video berdurasi pendek yang menampilkan serangan udara terhadap kelompok Houthi di Yaman.
Video tersebut diunggah di platform media sosial milik Trump, Truth Social, dan menunjukkan momen dramatis ledakan yang menewaskan puluhan orang.
Dalam rekaman yang tampaknya diambil oleh drone militer, terlihat sekitar 70 orang berkumpul dalam formasi oval. Beberapa detik kemudian, terjadi ledakan besar di tengah-tengah kerumunan tersebut, menyisakan puluhan jasad tak bernyawa yang berserakan di sekitar kawah besar akibat ledakan.
“Para Houthi ini berkumpul untuk menerima instruksi serangan. Ups, tidak akan ada serangan dari mereka lagi!” tulis Trump di samping video tersebut dikutip dari ladbible.
“Mereka tidak akan pernah menenggelamkan kapal-kapal kita lagi!”
Baca Juga: Perang Dagang AS-China Ancam Stabilitas Ekonomi Global, Ini Peringatan The Fed
Trump Klaim Serangan Ditujukan pada Teroris Houthi yang Ancam Laut Merah
Menurut pernyataan resmi dari Trump, para target dalam video tersebut merupakan anggota Houthi yang diduga sedang merencanakan serangan terhadap kapal dagang di Laut Merah, dengan dukungan dari Iran. Trump menambahkan bahwa para militan tersebut berencana memanfaatkan Terusan Suez di Mesir untuk mengacaukan jalur perdagangan global.
Kelompok Houthi sendiri merupakan kelompok bersenjata dengan latar belakang politik dan agama yang mayoritas berisi penganut Syiah Zaydi. Mereka dikenal sebagai lawan ideologis Israel, dan sejak 2014 telah terlibat dalam perang sipil di Yaman, dengan dukungan tidak langsung dari Iran.
Pernyataan Trump Sebelumnya: “Kami Hantam Mereka Siang dan Malam”
Hanya beberapa hari sebelum insiden ini, tepatnya pada 31 Maret, Trump menyampaikan pernyataan bahwa serangan terus-menerus terhadap Houthi telah "melumpuhkan" kekuatan mereka.
Ia menyatakan bahwa banyak pemimpin dan pejuang Houthi telah "tidak lagi bersama kita", menandakan keberhasilan operasi militer skala besar yang telah berlangsung selama dua minggu.
“Kemampuan mereka untuk mengancam pelayaran dan kawasan sedang kami hancurkan dengan cepat,” kata Trump.
Baca Juga: Trump dan China Saling Balas Tarif Impor, Dunia Bersiap Hadapi Ketidakpastian Ekonomi
“Serangan kami akan terus berlanjut sampai mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi kebebasan navigasi. Pilihannya jelas: berhenti menembaki kapal AS, maka kami akan berhenti menembaki kalian,” tambahnya.
Reaksi Keras di Media Sosial: Tuduhan Serang Warga Sipil
Namun demikian, unggahan video tersebut segera menimbulkan kecaman luas dari masyarakat internasional, khususnya dari warganet di platform X (sebelumnya Twitter). Beberapa pengguna media sosial mengklaim bahwa serangan tersebut justru mengenai warga sipil yang sedang merayakan Idul Fitri, bukan militan bersenjata seperti yang diklaim oleh pemerintah AS.
“Itu adalah pertemuan suku. Mereka hanya warga desa yang sedang merayakan Idul Fitri, dan kalian mengebom mereka,” tulis salah satu pengguna.
“Anda berjanji akan mengakhiri perang, tapi justru Anda memperparahnya,” tulis yang lain.
“Saya tidak percaya Presiden Amerika Serikat membagikan konten seperti ini...” tulis seorang pengguna lainnya.
Pernyataan-pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia dan etika militer, serta mempertanyakan akurasi intelijen AS terkait target-target serangan.
Baca Juga: Tarik Ulur Penjualan Aset TikTok di AS: China Tarik Diri Akibat Tarif Tinggi Trump
Gedung Putih Tetap Bertahan: Iran Melemah, Houthi Ditekan
Meskipun gelombang kritik terus meningkat, Gedung Putih melalui Juru Bicara Karoline Leavitt menyatakan bahwa serangan-serangan tersebut sangat efektif dalam menghancurkan infrastruktur dan kepemimpinan militan Houthi.
“Iran saat ini sangat melemah akibat dari operasi ini,” ujar Leavitt dalam jumpa pers pada Selasa, 2 April. “Kami telah menargetkan anggota penting yang sebelumnya meluncurkan serangan terhadap kapal laut dan kapal dagang. Operasi ini tidak akan berhenti sampai kebebasan navigasi benar-benar pulih.”
Leavitt juga menyebut bahwa lebih dari 200 serangan udara dilancarkan dalam satu hari, menunjukkan skala besar dari kampanye militer AS di kawasan tersebut.