Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Qin Meng, seorang pekerja administrasi medis di China, menemukan ladang cuan baru.
Ia bangun sebelum tengah malam, mengisi formulir permohonan perceraian kliennya di situs resmi pemerintah, lalu menekan tombol "konfirmasi" tepat di pukul 00.00.
“Kalau telat beberapa detik saja, slotnya langsung habis seketika,” kata perempuan 30 tahun ini, yang mengenakan tarif 400 yuan (sekitar Rp900.000) untuk jasanya, Selasa (17/6).
Baca Juga: Produk Murah Asal China Membanjiri Indonesia, Industri Lokal Tertekan
Bagi banyak pasangan yang sudah mencoba berbulan-bulan tanpa hasil, Qin menjadi penyelamat.
Munculnya agen dadakan seperti Qin, yang mempromosikan jasanya di media sosial China, menjadi cerminan bagaimana tekanan ekonomi memperparah stres dalam rumah tangga dan mendorong meningkatnya angka perceraian.
Badan Statistik Nasional China belum merilis angka resmi perceraian tahun 2024. Namun, demograf senior dari University of Wisconsin-Madison, Yi Fuxian, memperkirakan angkanya akan naik ke 2,6 per 1.000 orang atau naik dari titik rendah 2,0 saat pandemi COVID-19.
Sebagai perbandingan, tingkat perceraian terbaru di Jepang adalah 1,5 dan di Korea Selatan 1,8.
“Poverty destroys marriage (kemiskinan menghancurkan pernikahan),” ujar Yi.
Baca Juga: SIPRI: China Tambah 100 Hulu Ledak Nuklir per Tahun, Kejar AS dan Rusia
Ia memperingatkan bahwa peningkatan angka perceraian berkorelasi terbalik dengan angka kelahiran, dan berpotensi memperburuk krisis demografi di China.
“Penurunan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir serta meningkatnya pengangguran anak muda telah menurunkan daya dukung finansial keluarga, memperbesar konflik, dan mendorong lonjakan perceraian,” lanjutnya.
Meskipun ekonomi China tumbuh sekitar 5% per tahun, rumah tangga lebih memilih menabung karena kekhawatiran terhadap keamanan kerja dan krisis properti yang berkepanjangan.
Sebagian besar pertumbuhan ekonomi ditopang oleh ekspor. Namun perusahaan-perusahaan yang terdampak tarif AS mulai memangkas gaji atau merumahkan pekerja, sementara jutaan lulusan baru kesulitan mencari pekerjaan.
Tekanan finansial ini mencuat ke publik tahun lalu, saat seorang pengemudi yang marah karena hasil perceraian menabrakkan mobil ke kerumunan dan menewaskan 35 orang.
Menjadi serangan paling mematikan di China dalam beberapa tahun terakhir. Ia divonis mati oleh pengadilan.
Menanggapi peristiwa itu, majalah Partai Komunis Qiushi menerbitkan ulang pidato Presiden Xi Jinping tahun 2016 yang menekankan pentingnya “keluarga harmonis demi masyarakat yang stabil.”
Baca Juga: Produk China di Indonesia Naik 21,43%, Ekonom: Defisit Bisa Meningkat Rp 185 Triliun