Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
Perceraian dan Tekanan Finansial
Data demograf menunjukkan tren perceraian yang lebih rendah di kawasan pesisir yang lebih makmur, dan lebih tinggi di wilayah pedalaman serta utara China yang lebih miskin, mengindikasikan pengaruh tekanan ekonomi.
Zhou Minghui, seorang pekerja di bidang pendidikan di Shenzhen, akhirnya berhasil memesan slot perceraian pada percobaan kelima. Ia khawatir mantan suaminya akan berubah pikiran jika proses berlarut.
Baca Juga: Impor Produk dari China Kian Melonjak, APSyFI Minta Bea Masuk Anti-Dumping
Alasan Zhou bercerai adalah keputusan investasi sang suami yang “sembrono.” Dalam tiga tahun, ia merugi hampir 4 juta yuan di pasar saham.
Mereka terpaksa menjual rumah, dan tetap belum bisa melunasi seluruh utang yang dipakai untuk membeli saham.
“Di masa ekonomi sulit seperti ini, orang seharusnya tidak gegabah berinvestasi atau konsumtif,” ujar Zhou, 38 tahun.
Penurunan angka perceraian saat pandemi COVID-19 kini dianggap sebagai anomali, bukan tren jangka panjang.
Selain karena layanan publik ditutup, tahun 2021 China menerapkan aturan "masa tunggu 30 hari" sebelum pasangan bisa resmi bercerai secara damai di luar pengadilan.
Pasangan harus memesan dua janji temu online sebelum dan sesudah masa tunggu itu, melalui situs Departemen Urusan Sipil. Namun kini, permintaan jauh melebihi jumlah slot harian yang tersedia.
Itulah celah yang dimanfaatkan agen-agen seperti Qin. Biaya jasanya bervariasi antara 50 yuan hingga 999 yuan.
Sejak mulai menekuni usaha ini "hanya untuk iseng" pada bulan Maret, Qin sudah mengantongi 5.000 yuan—hampir setengah dari gaji bulanannya.
Baca Juga: Belanja Ritel China Meningkat Saat Produksi Industri Melambat
Ia menerima banyak permintaan setiap hari dan yakin pendapatannya akan terus meningkat.
“Ekonomi sedang tidak baik. Tekanan kerja bertambah, konflik rumah tangga juga meningkt,” kata Qin.
“Angka perceraian akan terus naik.”