Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlemahan ekonomi global menimbulkan risiko gagal bayar (default) utang korporasi di kawasan Asia Pasifik. Di saat total utang korporasi terus naik, kemampuan pembayaran utang terancam penerimaan perusahaan yang tertekan akibat aktivitas ekonomi yang menurun.
Dalam laporan terbarunya, Moody’s Investors Service, Senin (30/9), menyebut, pertumbuhan ekonomi yang menurun secara global berpotensi melemahkan kemampuan perusahaan, terutama di Asia Pasifik, dalam melunasi utangnya.
Baca Juga: Moody’s: Indonesia salah satu negara paling rentan gagal bayar utang korporasi
Laporan bertajuk “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen” ini menyoroti 13 negara Asia Pasifik yaitu Australia, China, Hong Kong, India, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Indonesia.
Lembaga pemeringkat utang internasional itu mencatat, total utang korporasi dalam dolar Amerika Serikat (AS) pada 13 negara ini sebenarnya hanya tumbuh sekitar 1% secara year-on-year (yoy) pada akhir 2018 lalu. Ini merupakan pertumbuhan utang terendah sejak krisis finansial global.
Kendati demikian, utang korporasi secara keseluruhan tetap tergolong relatif tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB) di beberapa negara Asia Pasifik tersebut.
Bahkan, total utang korporasi (outstanding) di sebagian negara mencapai empat kali lebih tinggi daripada pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA).
Perusahaan dengan rasio utang terhadap EBITDA di atas empat kali menandakan profitabilitas dan likuiditas perusahaan yang rendah.
Baca Juga: Diduga ada fraud dalam kasus gagal bayar Duniatex, Bareskrim lakukan investigasi
Tambah lagi, kondisi makroekonomi global yang memburuk turut menyeret pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik di 2019 dan 2020. Hal ini sudah terlihat dari pertumbuhan ekspor negara-negara Asia Pasifik yang melambat menjadi hanya 4,3% yoy pada kuartal IV-2018, dari sebelumnya menyentuh 14% pada kuartal ketiga 2017.
Oleh karena itu, Moody’s menilai hal ini meningkatkan risiko default, meski di negara dengan tingkat utang korporasi yang rendah sekalipun.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diproyeksikan Stabil, Investasi di Reksadana Tancap Gas
“Tingkat default perusahaan di Asia Pasifik sejauh ini rendah, terbantu oleh tingkat suku bunga rendah dan kondisi pendanaan yang menguntungkan, tetapi meningkatnya ketegangan perdagangan dan geopolitik membebani ekonomi global dan rantai pasokan di tengah pertumbuhan yang sudah melambat,” kata Rebaca Tan, Asisten Wakil Presiden sekaligus Analis Moody’s dalam laporan itu.
Moody’s mengamati, sektor-sektor berorientasi perdagangan seperti manufaktur, perdagangan besar dan ritel, transportasi dan penyimpanan, agrikultur, perikanan dan pertambangan, mengalami kenaikan tingkat utang.
Peningkatan utang ditambah rentannya sektor-sektor tersebut terhadap perlambatan ekonomi global dan gangguan rantai pasok ini pun menambah risiko bagi perbankan dalam menyalurkan pendanaan kepada perusahaan. Untungnya, risiko pendanaan tersebut sedikit berkurang di tengah melonggarnya kebijakan suku bunga global.
Baca Juga: BIS ingatkan booming sekuritisasi kredit berisiko memicu krisis seperti tahun 2008