Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Indeks saham China terjungkal ke pasar bearish. Mata uang Turki kolaps. Perekonomian Afrika Selatan masuk ke jurang resesi. Bahkan, bailout IMF belum berhasil menghentikan pendarahan di Argentina.
Badai kuat yang mengguncang emerging market tersebut bermuara dari Washington. Sejumlah mata uang emerging keok seiring langkah The Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Dan, kebijakan Presiden AS Donald Trump atas kerjasama perdagangan dengan sejumlah negara kian menambah bara api atas kondisi yang sudah ada.
Banyak pihak yang mencemaskan, masalah ini bisa menyebar dan menjangkiti emerging market lainnya, atau bahkan Wall Street. Itulah yang terjadi dua dekade lalu saat krisis finansial Asia merebak.
"Ada kecemasan hal ini akan meluas, sama dengan kejadian 1997-1998," jelas Michael Arone, chief investment strategist State Street Global Advisors seperti yang dikutip MoneyCNN.
Hal ini sudah mulai terjadi. Pada Rabu (5/9), pasar saham Indonesia ambles nyaris 4%. Rupe India baru-baru ini anjlok ke rekor terendahnya terhadap dollar AS. Demikian pula halnya dengan real Brazil yang sudah turun dalam.
Meski demikian, ada sedikit sinyal -meski sangat jauh- bahwa Wall Street juga mulai sakit. Faktanya, Amerika Serikat merupakan oasis ketenangan di tengah badai global. Hal ini dipicu oleh perekonomian AS yang kuat.
Misalnya saja, indeks Dow Jones hanya turun 600 poin dari level rekor pertamanya pada akhir Januari lalu. Sementara, indeks S&P 500 hanya turun 1% dari posisi tertingginya di sepanjang sejarah. Di sisi lain, VIX volatility incex, indeks untuk mengukur turbulensi market, masih tetap berada di kisaran 14. VIX bahkan sempat tiga kali lebih tinggi pada Februari lalu.
Pesan yang saling bertentangan
Mari bandingkan hal itu dengan guncangan di emerging market. Mengutip MoneyCNN, iShare MSCI Emerging Markets ETF sudah anjlok 11% pada tahun ini. Artinya indeks ini diperdagangkan mendekati level terendah dalam 14 bulan terakhir. Indeks Shanghai Composite China melorot 18%. Lira Turki sudah anjlok hampir separuhnya melawan dollar AS. Dan pada pekan lalu, Argentina mengerek suku bunga acuannya menjadi 60%.
Industri logam juga menunjukkan pelemahan. Tembaga, salah satu barometer kekuatan ekonomi, sudah kehilangan seperlima nilainya sejak awal Juni.
"Pasar finansial mengirimkan sinyal yang bertentangan," jelas Richard Turnill, global chief investment strategist BlackRock.
Dia mengatakan, investor saat ini lebih fokus pada booming laba perusahaan AS ketimbang mencemaskan masalah Turki. Sekadar informasi saja, berdasarkan data FacSet, laba kuartal dua emiten S&P 500 naik 25%, tertinggi sejak 2010. Kenaikan ini tidak hanya akibat pemangkasan pajak korporasi. Tingkat penjualan juga naik dengan kecepatan tertinggi dalam hampir tujuh tahun terakhir.
Perekonomian AS juga berjalan dengan cukup baik. Pertumbuhan ekonomi berada di level 4,2% pada kuartal dua dan tingkat pengangguran turun ke level 3,9% pada Juli.
Perang dagang Trump tidak membantu
Masalah emerging market didorong oleh sejumlah faktor, termasuk guncangan politik domestik. Namun, yang paling utama adalah The Federal Reserve.
Kenaikan suku bunga bank sentral dan mengerucutnya neraca perdagangan mendorong arus dana kembali ke AS dari negara-negara asing. Hal itu pula yang pada akhirnya mengangkat performa dollar. Menguatnya dollar menyebabkan utang yang harus dibayar dalam mata uang dollar oleh negara-negara berkembang, seperti Turki, menjadi membengkak.
"Ini menciptakan lingkaran setan yang dapat mengarah pada krisis mata uang," papar Brent Schutte, chief investment strategist Northwestern Mutual Wealth Management.
Perang dagang yang digaungkan Trump kian mengguncang emerging market. Tarif yang dikenakan terhadap produk-produk China memperlambat pertumbuhan ekonomi di sana. Menekan tak hanya Beijing, tapi juga negara-negara lain yang ikut tergantung pada China. Demikian juga tarif yang dikenakan terhadap Turki.
"Risikonya adalah kebijakan Trump bisa menyebabkan penyebaran krisis emerging market," jelas Ed Yardeni, president of investment advisory Yardeni Research.
Data perdagangan teranyar yang baru saja dirilis bisa mendorong Trump untuk mengambil langkah lebih jauh lagi. Informasi tambahan, data Departemen Perdagangan AS menunjukkan, defisit perdagangan AS pada Juli mencatatkan kenaikan terbesar sejak 2015.
"Pada pemerintahan ini, itu artinya kita kalah. Mereka akan menekan lebih jauh lagi," jelas Schutte.
Apakah The Fed akan membantu?
Sejumlah analis menilai, the Fed akan kembali datang untuk misi penyelamatan. Secara teori, bank sentral dapat memperlambat laju kenaikan suku bunga demi mendinginkan kondisi di emerging market.
"The Fed tidak akan mau menyebabkan krisis emerging market. Mereka ingin menjadi sensitif," kata Schutte.
Pada akhir 1990, dibutuhkan campur tangan IMF dan Bank Dunia untuk menghentikan krisis finansial AS. The Fed juga mengorganisir bailout Wall Street bagi US hedge fund Long-Term Capital Management.
Arone dari State Street tidak mencemaskan terjadinya kembali episode tersebut. Dia bilang, kecemasan akan penyebaran krisis di emerging market terlalu ditanggapi berlebihan. Dia bahkan menyarankan investor jangka panjang untuk masuk ke emerging market.
"Sentimen sudah pernah lebih buruk lagi. Mereka murah sekarang. Mengapa tidak membeli aset mereka saat harga diskon?" kata Arone.