Sumber: Reuters | Editor: Sanny Cicilia
LONDON. Pasar harus bersiap-siap melihat hasil pemilu Inggris yang digelar Kamis kemarin (8/6). Dari hasil jajak pendapat pemilih di tempat-tempat pemungutan suara atau exit poll, Partai Konservatif yang mengusung Perdana Menteri sekarang Theresa May, kehilangan suara mayoritas.
Ini akan menjadi kejutan bagi pasar yang berharap kelangsungan administrasi May bisa membawa proses soft Brexit ketika Inggris keluar dari Uni Eropa. Negosiasi Inggris dengan 27 negara UE dijadwalkan harus selesai pada maret 2019.
Exit poll merupakan informasi dari pemilh setelah meninggalkan tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan yang populer di Indonesia, quick count atau hitung cepat, sampelnya adalah TPS.
Dari hasil penghitungan sementara ini, Partai Konservatif mungkin hanya mengamankan 314 kursi, sedangkan Partai buruh sekitar 266 suara.
Jika benar partai May memang hanya mengamankan 48% alias tidak mayoritas untuk seluruh 650 kursi di parlemen, May harus mencari koalisi dari partai-partai kecil lainnya.
Jika melihat ke belakang, ada peluang May kehilangan suara pendukung selama masa kampanyenya, yaitu terkait pilihannya dengan proposal jaminan sosial, penolakannya mengikuti debat politik di televisi, serta jaminan keamanan ketika terjadi dua kali penyerangan terorisme yang total menewaskan 30 orang selama administrasinya.
"Jika hasilnya benar, ini merupakan bencana bagi Partai Konservatif dan Theresa May," kata George Osborne, mantan Menteri Keuangan Inggris periode 2010-2016 lalu, disiarkan di ITV.
Namun masih ada harapan bagi pasar yang berekspektasi pada kemenangan May. Mantan Perdana Menteri David Cameron diramal kalah pada pemilu 2015 silam berdasarkan hasil polling. Namun, dari hasil hitung resmi, Cameron hanya kekurangan 12 kursi, menyapu bersih pemilu.
"Sampai hasilnya jelas, sulit melihat bagaimana Partai Konservatif membawa koalisi agar tetap memerintah. Kita akan lihat bagaimana sikap Partai buruh dalam peta koalisi ini," kata Osborne.