Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Presiden Amerika Serikat Joe Biden menegaskan kembali dukungannya kepada ASEAN dalam menjaga kebebasan laut dari ancaman China. Bagi Biden, tindakan China terhadap Taiwan adalah bentuk ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas.
Hadir dalam KTT Asia Timur hari Rabu (27/10), Biden juga mengatakan akan memulai pembicaraan dengan mitra di Indo-Pasifik tentang mengembangkan kerangka ekonomi regional.
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan Asia Tenggara telah menjadi medan pertempuran strategis antara AS dan China. Kedua negara telah berulang kali menunjukkan kehadiran militernya di kawasan tersebut dengan berbagai alasan.
Tekanan militer dan politik China terhadap Taiwan menjadi salah satu fokus perlwanan AS. Taiwan yang memperjuangkan demokrasi, sejauh ini selalu mengundang dukungan dari AS.
"Amerika Serikat memiliki komitmen yang kokoh terhadap Taiwan. Kami sangat prihatin dengan tindakan koersif China. Mereka mengancam perdamaian dan stabilitas regional," ungkap Biden, seperti dikutip Reuters.
Baca Juga: Demi Indo-Pasifik yang bebas & terbuka, Jepang berjanji perkuat hubungan dengan ASEAN
Perdana Menteri China Li Keqiang, yang juga hadir dalam pertemuan virtual tersebut, mengatakan bahwa menegakkan perdamaian, stabilitas, kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut Cina Selatan adalah kepentingan semua orang.
Minggu lalu, Biden juga menegaskan kembali komitmen AS untuk memberi Taiwan sarana untuk membela diri dan membela Taiwan jika diserang oleh China.
China menyampaikan ketidaksenangan atas komentar Biden tersebut. Mereka meminta AS untuk tidak mengirim sinyal yang salah kepada pasukan kemerdekaan Taiwan yang bisa merusak hubungan China-AS dan perdamaian serta stabilitas di Selat Taiwan.
ASEAN memulai KTT pada hari Selasa (26/10) tanpa perwakilan dari Myanmar menyusul pengecualian jenderal utamanya karena mengabaikan proposal perdamaian.
Selain AS dan China, KTT minggu ini juga dihadiri Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.