Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di bawah terik matahari siang yang membakar kawasan tambang emas Tarkwa milik Gold Fields di barat daya Ghana, tiga petugas meluncurkan drone ke udara. Mata kamera canggihnya menyisir area seluas 210 kilometer persegi, mencari jejak penyusup.
Hanya dalam 20 menit, drone mendeteksi aktivitas mencurigakan. Sebuah tim beranggotakan 15 orang—termasuk polisi bersenjata—dikerahkan. Mereka menemukan pakaian yang ditinggalkan, parit-parit baru, serta alat-alat sederhana di antara genangan air tercemar merkuri dan sianida.
Barang-barang itu ditinggalkan oleh para penambang liar atau “wildcat miners” yang bekerja di pinggiran tambang resmi. Aktivitas mereka membahayakan kesehatan, merusak lingkungan, dan menggerus keuntungan perusahaan tambang.
Ketegangan Memuncak Seiring Melejitnya Harga Emas
Dengan harga emas yang kini menembus US$3.300 per ons, insiden seperti ini makin sering terjadi. Penambangan ilegal meningkat pesat, memicu bentrokan antara perusahaan tambang besar dan para penambang skala kecil di Afrika Barat.
Baca Juga: Ketegangan Geopolitik Naik, Emas Antam Diproyeksi Tembus Rp 2,5 Juta per Gram
“Kalau tidak ada pengawasan dari udara, mustahil kita tahu ada kerusakan yang sedang terjadi,” kata Edwin Asare, kepala divisi perlindungan di tambang Tarkwa. “Kami butuh ‘mata di langit’ sebelum mengirim ‘kaki ke tanah’.”
Menurut laporan Reuters, hampir 20 penambang liar tewas dalam bentrokan di kawasan tambang besar sejak akhir 2024. Insiden terjadi di tambang milik Newmont, AngloGold Ashanti, hingga Nordgold di Burkina Faso. Belum ada laporan staf tambang resmi yang terluka, tetapi bentrokan ini sempat menghentikan produksi selama berminggu-minggu.
Sumber Penghidupan atau Ancaman Tambang?
Menurut laporan PBB Mei lalu, sekitar 10 juta orang di Afrika Sub-Sahara menggantungkan hidup pada tambang ilegal. Di Afrika Barat, sekitar 3 hingga 5 juta orang terlibat dalam penambangan tak berizin—menghasilkan hingga 30% dari total emas kawasan.
Salah satu warga, Famanson Keita (52), dari wilayah emas Kedougou di Senegal, mengaku kecewa setelah perusahaan tambang masuk. “Mereka janji pekerjaan dan pembangunan. Tapi kami cuma diberi pekerjaan kasar tanpa kontrak, gaji kecil, dan tak ada kepastian,” ujarnya.
Dulu, penambang lokal hanya memakai alat sederhana. Tapi kini, operasi liar telah berubah menjadi industri bawah tanah. Dibelakangnya ada pendanaan dari kartel lokal hingga pihak asing, termasuk dari Tiongkok.
Baca Juga: Indeks Saham Syariah Merekah, BEI Luncurkan ETF Emas Syariah untuk Kerek Transaksi
Ketegangan dan Kekerasan yang Terus Meningkat
Ulf Laessing, analis keamanan dan pertambangan dari Konrad Adenauer Foundation Jerman, memperingatkan bahwa ketegangan akan semakin parah seiring prediksi harga emas bisa tembus US$5.000 per ons. “Harga emas naik, konflik pasti ikut naik,” katanya.
Beberapa insiden yang terjadi awal tahun ini:
-
9 penambang liar tewas di tambang Obuasi milik AGA, Ghana (Januari 2025).
-
Ratusan penambang menyerbu tambang Siguiri di Guinea (Februari 2025).
-
3 penambang liar ditembak di tambang Newmont Ahafo, Ghana (Januari 2025).
Di Mali, operator ekskavator mengaku aktivitas tambang liar meningkat pesat dengan kehadiran "bos-bos China" dan alat berat yang canggih.
Pemerintah dan Perusahaan Tambang Mengambil Langkah
Pemerintah Ghana kini gencar menindak tambang ilegal. Ratusan orang, termasuk warga Tiongkok, ditangkap. Ghana kehilangan lebih dari 229 ton emas (kebanyakan dari tambang rakyat) karena penyelundupan antara 2019–2023, menurut Swissaid.
Adama Soro, Presiden Federasi Kamar Dagang Tambang Afrika Barat, mengatakan tambang ilegal juga menggerus cadangan emas perusahaan. “Mereka gali sampai 100 meter ke dalam, merusak badan bijih utama,” jelasnya.
Baca Juga: Agresi AS Terhadap Iran Bikin Harga Emas dan Saham Terkait Berpotensi Terangkat Lagi
Perusahaan tambang besar seperti Nordgold, Galiano Gold, B2Gold, dan Barrick Gold pun mengalami gangguan. Beberapa kini mengalokasikan anggaran besar untuk pengamanan.
“Perusahaan kami menghabiskan hampir setengah juta dolar setahun hanya untuk pengawasan dan keamanan,” kata seorang eksekutif tambang di Ghana yang enggan disebutkan namanya.
Permintaan Militer dan Teknologi AI Dikerahkan
Industri tambang mendesak pemerintah agar menurunkan militer bersenjata ke lokasi tambang. Di Ghana, biaya satu kontingen militer kecil (kurang dari 50 orang) ditaksir mencapai 250.000 cedis per hari (sekitar US$18.116).
Sebagai respons, Komisi Mineral Ghana mulai menerapkan teknologi kecerdasan buatan (AI). Sebanyak 28 drone kini beroperasi di lokasi-lokasi rawan. AI digunakan untuk menganalisis pergerakan dan dapat menonaktifkan alat berat secara otomatis jika keluar dari zona resmi.
“Kalau teknologi ini diterapkan penuh, kami yakin bisa menang,” kata Sylvester Akpah, konsultan proyek AI dan drone Komisi Mineral Ghana.