Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak naik sekitar 2%, didukung oleh kekhawatiran mengenai konflik di Timur Tengah. Namun kenaikan tersebut dibatasi oleh persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi dan prospek ekonomi yang suram di Eropa.
Rabu (25/10), harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Desember 2023 ditutup naik US$ 2,06 atau 2,34% ke US$ 90,13 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Desember 2023 juga naik US$ 1,65 atau 1,97% ke US$ 85,39 per barel.
Harga minyak sempat turun di awal sesi tetapi membalikkan keadaan karena meningkatnya risiko geopolitik, kata analis Price Futures Phil Flynn.
Israel meningkatkan pemboman di Gaza selatan, kata para pejabat, dan kekerasan berkobar di tempat lain di Timur Tengah.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Stabil, Brent Bertahan di Atas US$88 dan WTI ke US$83,69
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam pernyataan yang disiarkan televisi bahwa Israel sedang mempersiapkan invasi darat ke Gaza.
Di sisi lain, persediaan minyak mentah AS naik 1,4 juta barel pada minggu terakhir menjadi 421,1 juta barel, berdasarkan laporan Energy Information Administration (EIA), melebihi kenaikan 240.000 barel yang diperkirakan oleh para analis dalam jajak pendapat Reuters.
Data EIA “lebih bearish karena ini merupakan perubahan besar dari data API yang ditarik ke data EIA,” kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho. Data industri dari American Petroleum Institute (API) pada hari Selasa menunjukkan penurunan stok minyak mentah yang lebih besar dari perkiraan.
Sentimen bertambah dengan lemahnya data ekonomi Eropa dalam beberapa pekan terakhir, data European Central Bank menunjukkan pinjaman bank di seluruh zona Eropa hampir terhenti bulan lalu, bukti lebih lanjut bahwa blok 20 negara tersebut mungkin mendekati resesi.
Baca Juga: Wall Street: S&P 500 dan Nasdaq Ditutup Anjlok, Terseret Kinerja Buruk Alphabet
Permintaan minyak mentah bisa mendapat dorongan di China, importir minyak terbesar di dunia, yang menyetujui rancangan undang-undang untuk menerbitkan obligasi negara senilai 1 triliun yuan (setara US$ 137 miliar) dan memungkinkan pemerintah daerah menerbitkan utang baru dari kuota tahun 2024 mereka untuk meningkatkan perekonomian.
Namun Beijing juga mengambil langkah-langkah yang dapat membatasi permintaan minyak mentah, seperti menetapkan batas atas kapasitas penyulingan minyaknya sebesar 1 miliar metrik ton pada tahun 2025 untuk merampingkan sektor pengolahan minyaknya yang luas dan mengurangi emisi karbon.