kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hubungan dengan China panas dan demo rusuh, ekonomi AS diproyeksi semakin jatuh


Senin, 01 Juni 2020 / 18:37 WIB
Hubungan dengan China panas dan demo rusuh, ekonomi AS diproyeksi semakin jatuh
ILUSTRASI. Ekonomi AS diperkirakan semakin jatuh di kuartal II-2020


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 membuat ekonomi Amerika Serikat (AS) terpukul sepanjang kuartal I-2020. Aksi protes akibat kematian George Floyd, ditambah kembali memanasnya tensi dagang dengan China diprediksi bakal menyeret perekonomian Negeri Paman Sam. 

Kamis (28/5), Departemen Perdagangan AS mengumumkan, PDB AS sepanjang kartal I-2020 kontraksi 4,8%. Posisi tersebut menjadi kontraksi terdalam setelah krisis ekonomi 2008, di mana saat itu AS mencatat pertumbuhan ekonomi negatif 8,4%.

Pandemi virus corona jadi faktor utama merosotnya ekonomi AS. Ekspansi perusahaan yang minim akibat lockdown, sementara daya beli konsumen juga merosot lantaran lebih jutaan orang dipecat dan hanya berdiam diri di rumah.

Baca Juga: Aktivitas manufaktur di Asia terpuruk akibat merosotnya perdagangan global

Sayangnya, upaya pemulihan ekonomi AS yang baru saja dimulai dengan pembukaan sejumlah ritel, kini malah berakhir tragis. Hal ini muncul setelah sejumlah aksi protes yang berujung penjarahan di beberapa wilayah negara bagian.

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sekitar 30 negara bagian terjadi setelah kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam yang mendapat kekerasan dari seorang polisi di Minneapolis.

Aksi protes yang terjadi di New York, Chicago, hingga Los Angeles disertai dengan sejumlah aksi perusakan hingga penjarahan. Beberapa toko kenamaan hingga barang mewah seperti Nike, Adidas, Louis Vuitton hingga Kaws tak luput dari penjarahan. 

Perusahaan-perusahaan justru menilai hal ini lebih menakutkan dibandingkan efek yang diciptakan oleh pandemi.

“Orang-orang meyadari (pandemi) membuat pekerjaannya hilang atau tidak akan kembali dengan cepat. Ini semua diperparah dengan masalah rasialisme, dan menggambarkan bagaimana putus asa nya masyarakat AS,” kata Chief Economist Moody’s Mark Zandi dikutip dari Reuters.

Merebaknya aksi kekerasan ini bikin Amazon bakal mengurangi layanan pengiriman barangnya di kota-kota yang yang menjadi puncak aksi protes. Target Corp, perusahaan ritel berlogo merah, juga telah kembali menutup sementara 32 tokonya di Minneapolis, puluhan lainnya akan menyusul ditutup. Sementara di Chicago, 135 properti di pusat bisnisnya juga ikut hancur akibat aksi protes.

Kematian Floyd sekaligus aksi protes atas hal tersebut juga menujukan tekanan rasialisme yang masih kuat di AS, ditambah penangan kesehatan dan distribusi kekayaan terhadap mereka. 

Di New York misalnya orang Afrika-Amerika memiliki tingkat infeksi lebih tinggi dibandingkan ras lainnya. Sementara dari laporan McKinsey & Co disebut bahwa lebih dari 39% pekerjaan mereka berpotensi hilang akibat pandemi.

Baca Juga: Benarkah Trump berniat membentuk kelompok G11 untuk mengisolasi China?

Di sisi lain, aksi Presiden Donald Trump pekan lalu yang menyatakan AS bakal menghilangkan sejumlah privilege buat Hong Kong, sekaligus memberikan sanksi bagi Hong Kong dan China jadi pemantik ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok. 

Relasi antara kedua negara ini memang makin memburuk selama pandemi. Trump kerap mengolok-olok negara-negara Asia, terutama Negeri Tirai Bambu sebagai sumber pandemi dan ketidakmampuan mereka melakukan penanganan dengan baik.

Sementara pernyataan Trump tersebut juga telah direspon China dengan memerintahkan perusahaan pelat merah agrikultur China yaitu Cofco, dan Sinograin untuk menunda pembelian bahan pertanian asal Negeri Paman Sam. 




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×