Sumber: Al Jazeera,Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Lagi-lagi, India melakukan aksi boikot atas produk crude palm oil (CPO) Malaysia. Sumber Reuters di industri CPO dan Pemerintah India mengungkapkan, peringatan itu Pemerintah India keluarkan pekan lalu, bersamaan dengan langkah New Delhi membatasi impor CPO dan palmolein dari Malaysia.
Lantas, pernyataan apa yang membuat India marah?
Berikut dua pernyataan dari Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad yang berhasil KONTAN rangkum:
1. Kritik soal Kashmir
Perselisihan diplomatik antara Malaysia dengan India sudah berlangsung sejak September tahun lalu. Pada saat itu, Malaysia bergabung dengan Turki dan China dalam mengangkat masalah Kashmir di Majelis Umum PBB (UNGA).
Melansir The Economic Times, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menuduh India "menyerang dan menduduki negara" Jammu dan Kashmir.
Baca Juga: Mandatori B30 diyakini bisa memperbaiki defisit migas dan genjot ekspor CPO
Dalam pidatonya di UNGA ke-74, Mohamad mengatakan: "Sekarang, terlepas dari resolusi PBB tentang Jammu dan Kashmir, negara itu telah diserbu dan diduduki."
"Mungkin ada alasan untuk tindakan ini tetapi itu masih salah. Masalahnya harus diselesaikan dengan cara damai. India harus bekerja sama dengan Pakistan untuk menyelesaikan masalah ini. Mengabaikan PBB akan mengarah pada bentuk-bentuk pengabaian lain untuk PBB dan Aturan tentang Hukum," kata Mahathir.
2. Kritik soal Undang-Undang tentang Kewarganegaraan India yang baru
Mahathir juga mengkritik undang-undang kewarganegaraan baru India, yang dianggap diskriminatif terhadap Muslim dan telah memicu protes mematikan di seluruh negara Asia Selatan itu.
Baca Juga: Gara-gara pernyataan Mahathir, India setop impor CPO dari Malaysia
Berbicara di sela-sela KTT Kuala Lumpur 2019 pada hari Desember 2019 lalu, Mahathir mempertanyakan "keharusan" diberlakukannya Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (CAA), ketika orang India "hidup bersama selama 70 tahun".
"Orang-orang sekarat karena undang-undang ini. Mengapa ada keharusan untuk melakukan ini ketika, selama 70 tahun, mereka hidup bersama sebagai warga negara tanpa masalah?" tanyanya seperti yang dikutip dari Al Jazeera.
Undang-undang itu memicu kekhawatiran bahwa Perdana Menteri Narendra Modi ingin membentuk kembali India sebagai negara Hindu dan memarginalkan 200 juta warga Muslimnya, yang membentuk hampir 14% dari 1,3 miliar penduduk India.
Baca Juga: Gara-gara pernyataan kontroversial PM Malaysia, outlook saham CPO menarik
"Saya menyesal melihat bahwa India, yang mengklaim sebagai negara sekuler sekarang mengambil tindakan untuk merampas beberapa warga Muslim dari kewarganegaraan mereka," kata pemimpin berusia 94 tahun itu.
"Jika kita melakukan itu di sini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Akan ada kekacauan dan ketidakstabilan, dan semua orang akan menderita."
Komentar Mahathir muncul di tengah protes mematikan di India atas CAA, di mana setidaknya 20 orang telah terbunuh sejauh ini, termasuk hampir selusin pada hari Jumat.
Bisa untungkan Indonesia
Seperti yang diberitakan sebelumnya, importir minyak sawit India secara efektif menghentikan semua pembelian dari pemasok utama Malaysia setelah pemerintah secara pribadi mendesak mereka untuk memboikot produk CPO menyusul terjadinya perselisihan diplomatik. Hal itu diungkapkan oleh sumber Reuters yang berasal dari kalangan industri dan pemerintah di India.
Baca Juga: Berikut saham yang layak dikoleksi awal tahun 2020 versi analis
Lima orang sumber dari industri sawit yang akrab dengan masalah tersebut mengatakan kepada Reuters mengatakan, importir India tidak membeli minyak mentah atau minyak kelapa sawit olahan dari Malaysia.
"Secara resmi tidak ada larangan impor minyak kelapa sawit mentah dari Malaysia, tetapi tidak ada yang membeli karena instruksi pemerintah," kata seorang penyuling terkemuka. Dia menambahkan, saat ini para buyer mengimpor dari Indonesia meskipun membayar harga yang lebih premium ketimbang Malaysia.
India adalah importir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, membeli lebih dari 9 juta ton per tahun terutama dari Indonesia dan Malaysia.
Langkah itu secara efektif bisa memblokir impor dari Malaysia sehingga mendongkrak persediaan minyak sawit Malaysia yang pada akhirnya bisa menekan harga CPO.
Kondisi ini juga dapat menguntungkan Indonesia, yang notabene merupakan pengekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.