Sumber: Arab News | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Israel telah bersumpah untuk "menghabisi" Yahya Sinwar, pemimpin baru Hamas yang diduga menjadi dalang di balik serangan 7 Oktober, yang memicu ketegangan regional semakin meningkat saat perang Gaza memasuki bulan ke-11.
Penunjukan Sinwar untuk memimpin kelompok militan Palestina ini terjadi ketika Israel bersiap menghadapi potensi pembalasan dari Iran atas pembunuhan pendahulunya, Ismael Haniyeh, di Teheran pekan lalu.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa Israel bertekad untuk membela diri, baik secara defensif maupun ofensif. Dalam pidatonya kepada para rekrutan baru di sebuah pangkalan militer, Netanyahu menegaskan bahwa Israel siap menghadapi segala kemungkinan ancaman.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa promosi Sinwar merupakan alasan kuat untuk segera mengeliminasinya dan menghapus organisasi Hamas dari muka bumi.
Baca Juga: Dipastikan Membalas, Hizbullah: Membuat Israel Menunggu Bagian dari Hukuman
Sinwar dan Hubungannya dengan Hamas dan Iran
Yahya Sinwar telah memimpin Hamas di Gaza sejak 2017, dan sejak serangan 7 Oktober, ia belum terlihat di publik. Pemilihan Sinwar sebagai pemimpin baru Hamas diklaim oleh seorang pejabat senior Hamas sebagai pesan bahwa organisasi ini tetap berada di jalur perlawanan.
Hizbullah, sekutu Hamas di Lebanon, menyambut baik penunjukan ini dan menyatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa musuh gagal mencapai tujuannya dengan membunuh para pemimpin dan pejabat Hamas.
Para analis berpendapat bahwa Sinwar cenderung lebih keras dalam mengambil sikap terhadap gencatan senjata di Gaza dan memiliki hubungan yang lebih erat dengan Teheran dibandingkan dengan Haniyeh yang tinggal di Qatar.
Penunjukan Sinwar diperkirakan akan semakin memperkecil kemungkinan tercapainya kesepakatan gencatan senjata, dengan organisasi yang dipimpin Sinwar kemungkinan besar akan semakin menekankan strategi militannya yang keras.
Reaksi Internasional terhadap Penunjukan Sinwar
Amerika Serikat, yang telah mengirim kapal perang dan jet tambahan ke kawasan tersebut, mendesak baik Iran maupun Israel untuk menghindari eskalasi. Presiden Joe Biden telah mengadakan percakapan telepon dengan Raja Abdullah II dari Yordania, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi untuk membahas situasi ini.
Sementara itu, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengatakan kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa Barat seharusnya segera menghentikan penjualan senjata dan dukungan kepada Israel jika ingin mencegah terjadinya perang.
Baca Juga: Ketegangan Israel Menunggu Ancaman Serangan Iran dan Proksinya yang Kian Dekat
Hizbullah juga telah berjanji untuk membalas kematian Haniyeh dan komandan militernya, Fuad Shukr, yang terbunuh dalam serangan Israel di Beirut.
Dalam pidato televisi untuk memperingati satu minggu sejak kematian Shukr, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah mengatakan bahwa kelompoknya akan membalas "sendiri atau dalam konteks respons terkoordinasi dari seluruh poros" kelompok-kelompok yang didukung Iran di kawasan.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berbasis di Jeddah juga mengadakan pertemuan pada hari Rabu untuk membahas situasi di Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Gambia, Mamadou Tangara, yang negaranya saat ini memimpin OKI, menyatakan bahwa pembunuhan Haniyeh yang "keji" dapat berisiko memicu konflik yang lebih luas yang dapat melibatkan seluruh kawasan.