Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - BERLIN. Pemerintah Jerman menyatakan belum berencana mengakui negara Palestina dalam waktu dekat.
Fokus utama Jerman saat ini adalah mendorong "kemajuan yang sudah lama tertunda" menuju solusi dua negara, demikian disampaikan juru bicara pemerintah Jerman pada Jumat (25/7/2025).
"Keamanan Israel adalah hal yang paling utama bagi pemerintah Jerman," ujar juru bicara tersebut.
"Karena itu, pemerintah Jerman tidak memiliki rencana untuk mengakui negara Palestina dalam waktu dekat."
Baca Juga: Israel Izinkan Negara Asing Jatuhkan Bantuan ke Gaza Lewat Udara, Mulai Jumat (25/7)
Keputusan Prancis untuk mendukung pengakuan negara Palestina di Sidang Umum PBB pada September mendatang menuai kecaman dari Israel dan Amerika Serikat (AS), di tengah perang yang masih berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza.
Sikap Jerman terhadap Israel sangat dipengaruhi oleh rasa tanggung jawab historis untuk menebus kekejaman Holocaust oleh rezim Nazi, yang menewaskan enam juta Yahudi Eropa selama pemerintahan Adolf Hitler pada 1933–1945.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan dukungan tersebut pada Kamis malam, tak lama sebelum Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan akan mengadakan panggilan darurat dengan Prancis dan Jerman pada Jumat untuk membahas situasi kemanusiaan di Gaza.
Seorang menteri kabinet Inggris menyebut bahwa prioritas utama Inggris saat ini adalah meredakan penderitaan di Gaza dan mendorong gencatan senjata antara Israel dan Hamas, di tengah meningkatnya tekanan terhadap Starmer untuk ikut mengakui negara Palestina.
Baca Juga: Tesla Ungguli Pesaingnya di China dalam Uji Coba Mengemudi
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani menegaskan bahwa pengakuan terhadap negara Palestina harus dilakukan bersamaan dengan pengakuan terhadap negara Israel oleh entitas Palestina tersebut.
“Negara Palestina yang tidak mengakui Israel berarti masalahnya tidak akan selesai,” ujar Tajani dalam pertemuan partai konservatif Forza Italia.
Meski bersifat simbolis, langkah Prancis menegaskan isolasi diplomatik yang semakin dalam terhadap Israel akibat serangan yang merusak di Gaza, dan bisa membuka jalan bagi negara-negara besar lain untuk mengikuti langkah serupa.
Presiden Palestina Sambut Langkah Prancis
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyambut baik langkah Prancis tersebut. Dalam pernyataan resmi yang dilaporkan kantor berita Palestina WAFA, Abbas memuji peran penting Arab Saudi dalam mendorong keputusan tersebut melalui kepemimpinan Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan.
"Presiden Abbas menyerukan kepada semua negara, khususnya negara-negara Eropa yang belum mengakui negara Palestina, untuk segera melakukannya berdasarkan solusi dua negara yang diakui secara internasional," demikian pernyataan WAFA.
Baca Juga: Tanpa Denda, Singapura Ajak Warga Buang Vape Lewat Program “Bin the Vape”
Palestina telah lama memperjuangkan pembentukan negara merdeka yang mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur wilayah yang diduduki Israel sejak Perang Timur Tengah 1967 melalui proses perdamaian yang dimediasi.
Namun, banyak pihak menuduh Israel telah menghancurkan prospek negara Palestina melalui perluasan permukiman di Tepi Barat serta penghancuran besar-besaran di Gaza selama perang saat ini. Israel menolak tuduhan ini.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) secara resmi mengakui hak Israel untuk hidup berdampingan secara damai pada tahun 1993, yang menjadi awal proses perdamaian yang didukung AS dan melahirkan Otoritas Palestina yang kini dipimpin Mahmoud Abbas—yang diharapkan menjadi batu loncatan menuju kemerdekaan penuh.
Namun, Hamas dan kelompok militan Islam Palestina lainnya yang menguasai Gaza menolak mengakui Israel dan kerap bentrok dengan pasukan Israel di Tepi Barat.
Baca Juga: CEO Alphabet Sundar Pichai Resmi Masuk Jajaran Terkaya Dunia
Piagam pendirian Hamas tahun 1988 secara eksplisit menyerukan penghancuran Israel, meskipun dalam beberapa kesempatan pemimpinnya menyatakan bersedia melakukan gencatan senjata jangka panjang sebagai imbalan atas pembentukan negara Palestina yang berdaulat atas seluruh wilayah yang diduduki Israel sejak 1967.
Israel menilai tawaran tersebut sebagai taktik semata.