kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakaan Bank Sentral China tak berubah tajam meski harga properti melonjak


Minggu, 23 Mei 2021 / 14:51 WIB
Kebijakaan Bank Sentral China tak berubah tajam meski harga properti melonjak
ILUSTRASI. People's Bank of China. REUTERS/Jason Lee/File Photo GLOBAL BUSINESS WEEK AHEAD


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Melonjaknya harga rumah mendorong para pejabat pemerintah  China untuk menghidupkan kembali gagasan pajak properti nasional. Kenaikan harga material mendorong pemerintah berjanji meningkatkan pasokan domestik, memperkuat pengawasan pasar, serta menindak spekulasi dan penimbunan.

Upaya pemerintah untuk mengekang kenaikan harga tidak akan cukup sehinggga membutuhkan bantuan bank sentral mendorong konsumsi domestik. Namun, lonjakan harga yang begitu cepat ini menjadi tantangan bagi Bank Sentral China bagaimana menahan inflasi tanpa harus menaikkan suku bunga pinjaman. 

Bank Sentral China (PBoC) mengatakan tidak akan membuat perubahan tajam dalam kebijakan moneternya. 

Kondisi ini akan mengejutkan pasar keuangan negara yang saat ini harganya dalam skenario relatif tidak berbahaya. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun telah jatuh ke level terendah dalam delapan bulan, sementara indeks acuan saham CSI 300 adalah yang paling tidak bergejolak sejak Januari. 

Baca Juga: Harga komoditas terus melejit, China bakal genjot pasokan dalam negeri

Ketenangan ini kontras dengan negara lain dimana investor semakin terobsesi dengan reaksi bank sentral terhadap ancaman ekonomi global yang terlalu panas. 

Menurut  Zhou Hao, ekonom Commerzbank AG di Singapura, mengurangi ledakan properti dan komoditas tanpa memperketat kebijakan makro merupakan tantangan nyata bagi pemerintah China.

China menurunkan suku bunga setelah lebih dari 15 bulan pandemi Covid-19 pertama terjadi dan menyuntikkan triliunan yuan ke dalam sistem keuangan. Akibatnya, pembuat kebijakan seperti banyak negara lain di dunia mulai menghadapi akibatnya. 

Ketika pemulihan ekonomi global semakin cepat, beberapa terpaksa bertindak karena inflasi meningkat. Brasil pada bulan Maret menjadi negara pertama dari Kelompok 20 (G20) yang menaikkan biaya pinjaman, diikuti oleh Turki dan Rusia. Bahkan Islandia telah menaikkan suku bunga jangka pendek di bulan Mei.

Sementara bank sentral lain seperti Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa bersikeras bahwa lonjakan harga hanya bersifat sementara.  PBOC juga meremehkan kekhawatiran inflasi dalam laporan moneter kuartal pertama, yang diterbitkan tak lama setelah data menunjukkan harga pabrik melonjak 6,8% pada April, laju tercepat sejak 2017.

David Qu, ekonom China di Bloomberg Economics mengatakan, kondisi ini merupakan tantangan bagi China untuk menahan kenaikan harga produsen karena hanya sedikit komoditas yang dihargai di dalam negeri.  

"Tidak banyak yang dapat dilakukan China, dan bahkan pengetatan kebijakan moneter tidak akan dapat mengubah situasi, "katanya dikutip Minggu (23/5).

Ketika kenaikan harga komoditas sudah mulai moderat dalam beberapa hari terakhir, sebuah kelanjutan keuntungan dapat menekan perusahaan untuk membebankan kenaikan biaya kepada konsumen, yang telah membelanjakan lebih sedikit dari yang diharapkan. 

Analis Huachuang Securities Co mengatakan dalam laporan 9 Mei bahwa harga barang-barang konsumen, seperti peralatan rumah tangga dan furnitur, serta kendaraan listrik dan makanan, mengalami  peningkatan. 

Baca Juga: Pernyataan bank sentral China membuat koreksi harga bitcoin semakin dalam

Namun, ada sedikit bukti dari tekanan yang didorong oleh permintaan bahwa inflasi inti dengan mengesampingkan makan dan energi yang harganya tidak stabil, masih terkendali.

Ancaman inflasi dan ditambah dengan ekonomi yang rapuh  cenderung menjadi berita buruk bagi saham karena itu bakal mengikis keuntungan perusahaan. Sementara dampaknya ke obligasi adalah bisa mengurangi nilai arus kas masa depan. 

Sebagai tanda betapa seriusnya ancaman itu ditanggapi, kabinet China mengatakan pada Rabu bahwa lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk mengatasi kenaikan harga komoditas. Seorang pejabat PBOC mengatakan China harus membiarkan yuan menguat untuk mengimbangi dampak kenaikan harga impor. Yuan saat ini diperdagangkan mendekati level tertinggi hampir tiga tahun terhadap dolar.

Inflasi impor membuat pusing para pejabat China yang sudah menghadapi risiko yang disebabkan oleh lonjakan arus modal masuk. Dalam beberapa tahun terakhir Beijing membuka saluran investasi untuk memungkinkan lebih banyak dana ke dalam sistem keuangannya agar menstabilkan mata uangnya. Namun, rekor likuiditas yang dikeluarkan oleh bank sentral global setelah pandemi telah menekan harga di China.

Pejabat senior di China di China mulai meneriakkan pembatasan arus masuk asing. Regulator sekuritas terkemuka Yi Huiman mengatakan pada Maret arus besar uang panas yang masuk ke China harus dikontrol dengan ketat. Pada bulan yang sama, regulator perbankan Guo Shuqing mengaku sangat khawatir bahwa gelembung aset di pasar luar negeri akan segera meledak, menimbulkan risiko bagi ekonomi global.

Memutuskan apakah lonjakan harga baru-baru ini bersifat sementara atau perubahan permanen menuju inflasi yang berkelanjutan adalah sesuatu yang harus dihadapi para pembuat kebijakan China. Untuk saat ini, pendekatan Beijing saat ini tentang jawboning, meningkatkan pasokan, dan menghukum spekulasi tampaknya ditargetkan pada yang pertama.

Selanjutnya: Empat bank sentral di Asia ini akan normalisasi kebijakan moneternya, mana saja?




TERBARU

[X]
×