Sumber: DW.com | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konferensi Tingkat Tinggi G20 di New Delhi, India, yang dimulai hari Sabtu (9/9), tanpa kehadiran Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden China, Xi Jinping. Absennya kedua pemimpin dunia meredupkan harapan tercapainya target pengurangan emisi yang lebih besar.
Bagi kelompok negara yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global, kebuntuan di New Delhi "berpotensi menjadi bencana” bagi negara-negara miskin, kata Agnès Callamard, Sekretaris Jendral Amnesty International dalam keterangan persnya.
Hal ini diyakini akan turut meredupkan ekspektasi bagi KTT Iklim COP28 di Uni Emirat Arab, November mendatang.
Ada tiga isu iklim yang diagendakan di New Delhi: penambahan kapasitas energi terbarukan hingga 2030, dekarbonisasi ekonomi dan pembiayaan transisi hijau di negara-negara berkembang.
Baca Juga: Jokowi Serukan Peningkatan Kerjasama dan Pentingnya Hilirisasi di Pertemuan MIKTA
Jalan terjal negosiasi
Namun hasil rangkaian pertemuan yang digelar jelang KTT sejak beberapa bulan lalu membiaskan kebuntuan.
Juli silam, menteri-menteri energi G20 gagal menyepakati strategi pengurangan emisi, target pembangunan energi hijau atau bahkan menyebut batu bara sebagai sumber emisi dalam pernyataan akhir.
"Deklarasi yang dirilis sama sekali tidak cukup,” kata sekretaris iklim PBB, Simon Stiell, kepada AFP pekan ini.
Kelompok G20 mewakili 85 persen perekonomian global dan sebabnya dinilai berperan besar dalam pengurangan emisi.
"Iklim kita memanas lebih cepat dari kemampuan kita beradaptasi,” kata Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, merujuk pada ragam bencana banjir, kebarakan hutan atau kekeringan yang melanda. "Kiamat iklim sudah dimulai.”
Baca Juga: Hari Pertama KTT G20 di New Delhi India, Para Pemimpin G20 Hasilkan Deklarasi
Kepentingan halangi kemajuan
Sebuah riset yang dirilis pekan ini mencatat betapa emisi batu bara per kapita di negara-negara G20 justru meningkat sejak 2015. Peningkatan sebesar sembilan persen itu didorong oleh geliat pembangunan di sejumlah negara, teurtama India, Indonesia dan China.
Kepentingan batu bara yang bertautan dengan konflik geopolitik dengan Beijing dan Rusia itulah yang membuyarkan harapan.
"Minimal, saya harap mereka bisa mengadopsi deklarasi Bali untuk mengurangi batu bara,” kata Madhura Joshi, peneliti senior di lembaga iklim, E3G.
Dia merujuk pada KTT G20 di Bali tahun lalu, ketika semua negara anggota menyatakan berkomitmen untuk "mempercepat upaya mengurangi batu bara, searah dengan kondisi nasional,”demikian bunyi pernyataan bersama kala itu.
Baca Juga: Kecewa! Pidato G20 Jokowi Sebut Negara Maju Cuma Retorika Doang Soal Pendanaan Iklim
Isu lain yang menghambat adalah pembiayaan transisi energi. Selaku tuan rumah, Perdana Menteri Narendra Modi telah mendesak, betapa ambisi iklim global "harus sesuai dengan pembiayaan dan transfer teknologi.”
Dalam hal ini, negara kaya gagal menepati janji mengucurkan dana USD 100 miliar setahun untuk pembiayaan iklim di negara miskin pada 2020. Hambatan lain adalah tingginya nilai utang negara-negara berkembang, antara lain kepada China, yang memperlambat upaya transisi.
Sebab itu, Amnesty International, mendesak agar G20 turut membahas restrukturisasi utang dalam KTT di New Delhi.
"G20 bertemu ketika dunia berada di ujung tanduk. Krisis iklim sudah menciptakan kerugian besar bagi banyak orang, ketika negara-negara rentan iklim menghadapi krisis utang. Hak asasi miliaran manusia sedang terancam,” kata Agnès Callamard, Sekjen Amnesty International.
Artikel ini telah tayang di DW.com dengan judul "Kebuntuan Hantui Agenda Iklim KTT G20 di India", Klik untuk baca: https://www.dw.com/id/kebuntuan-hantui-agenda-iklim-ktt-g20-di-india/a-66758274?maca=ind-VAS_Ind_Kontan_News-35437-xml-media