Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Seorang pejabat di kantor kepresidenan Seoul mengatakan Korea Utara mungkin ingin "menguji" reaksi Korea Selatan namun berjanji akan menanggapinya dengan tenang.
“Dengan memasukkan sampah dan benda-benda lain ke dalam balon, mereka tampaknya ingin menguji bagaimana reaksi masyarakat kita dan apakah pemerintah kita benar-benar terganggu, dan terlepas dari provokasi langsung, bagaimana perang psikologis dan ancaman kompleks berskala kecil akan terjadi di negara kita," kata pejabat itu kepada wartawan.
Unit persenjataan bahan peledak militer Korea Selatan serta tim respons perang kimia dan biologi dikerahkan untuk memeriksa dan mengumpulkan benda-benda tersebut.
Selain itu, peringatan pun dikeluarkan untuk memperingatkan penduduk agar menjauh dan melaporkan setiap penampakan balon kepada pihak berwenang.
Pada hari Minggu, wakil menteri pertahanan Korea Utara mengecam balon-balon yang dikirim oleh para aktivis Korea Selatan, menyebutnya sebagai “barang kotor” dan “provokasi yang berbahaya”. Mereka memperingatkan bahwa gundukan sampah bekas dan kotoran akan dikirim ke Korea Selatan sebagai tanggapannya.
Korea Utara juga berusaha mengganggu sinyal GPS di Korea Selatan pada Rabu pagi, meski tidak ada kerusakan yang dilaporkan, kata surat kabar Donga Ilbo, mengutip beberapa sumber pemerintah yang tidak disebutkan namanya.
Baca Juga: Korea Utara Pajang Potret Kim Jong Un di Samping Para Pendahulunya, Apa Artinya?
Kementerian Pertahanan Seoul mengatakan pihaknya belum dapat memberikan komentar mengenai laporan tersebut.
Pemerintahan Korea Selatan sebelumnya berupaya untuk memblokir kampanye semacam itu, terutama setelah insiden tahun 2014 ketika Korea Utara mencoba menembak jatuh balon, yang memicu keluhan dari penduduk di dekat perbatasan.
Larangan peluncuran balon yang diberlakukan pada tahun 2021 kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan tinggi, karena dianggap melanggar kebebasan berpendapat.
Peter Ward, peneliti di Sejong Institute, mengatakan pengiriman balon jauh lebih kecil risikonya dibandingkan mengambil tindakan militer secara terang-terangan.
“Taktik zona abu-abu semacam ini lebih sulit untuk dilawan dan memiliki risiko eskalasi militer yang tidak terkendali lebih kecil, bahkan jika taktik tersebut berdampak buruk bagi warga sipil yang pada akhirnya menjadi sasaran,” katanya.