Sumber: CNN | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Seorang miliarder China yang mengkritik penanganan epidemi virus corona oleh Presiden Xi Jinping, harus berurusan dengan hukum.
CNN melaporkan, Ren Zhiqiang, pensiunan taipan real estat dengan hubungan dekat dengan pejabat senior Tiongkok, menghadapi tuduhan melakukan pelanggaran serius terhadap peraturan hukum dan Partai Komunis. Ia tengah diselidiki pihak berwenang China.
Pernyataan itu tidak memberikan perincian lain tentang tuduhan terhadap Ren.
Baca Juga: China menerbitkan timeline rinci tentang berbagi informasi Covid-19, apa isinya?
Terlahir sebagai elite partai yang berkuasa, pria berusia 69 tahun ini sering berbicara blak-blakan tentang politik Cina, jauh melebihi apa yang biasanya diizinkan di China.
Gaya Ren yang blak-blakan membuatnya mendapat julukan "The Cannon" di media sosial China.
Ren, seorang anggota lama Partai Komunis dan mantan chairman perusahaan properti milik negara, menghilang pada pertengahan Maret lalu, menurut teman-teman dia.
Wang Ying, seorang wirausahawan dan teman dekat Ren mengatakan kepada CNN bulan lalu bahwa dia tidak dapat menghubungi Ren sejak 12 Maret 2020, dan khawatir dia telah dibawa pergi oleh pihak berwenang.
Pengumuman pada Selasa (7/4) adalah pengakuan resmi pertama bahwa Ren ditahan oleh pihak berwenang China.
Hilangnya taipan itu terjadi setelah ia diduga menulis esai pedas pada awal Maret 2020 yang mengkritik respons Xi Jinping terhadap epidemi corona.
Dalam artikel itu, ia mengecam tindakan keras partai terhadap kebebasan pers dan intoleransi perbedaan pendapat.
Ren tidak menyebut nama Xi. Namun dia secara tidak sengaja menyebut pemimpin puncak sebagai "badut" yang haus kekuasaan.
"Saya tidak melihat seorang kaisar berdiri di sana memamerkan 'pakaian barunya', tetapi seorang badut yang menanggalkan pakaiannya dan bersikeras terus menjadi seorang kaisar," tulis Ren.
Miliarder itu kemudian menuduh Partai Komunis menempatkan kepentingannya sendiri di atas keselamatan rakyat Tiongkok, untuk mengamankan kekuasaannya.
"Tanpa media yang mewakili kepentingan rakyat dengan mempublikasikan fakta-fakta aktual, nyawa rakyat dirusak oleh virus dan penyakit utama sistem itu," tulis Ren lagi.
Ini bukan pertama kalinya Ren mendapat masalah dengan pengawas disiplin partai karena mengutarakan pendapatnya.
Pada 2016, ia didisiplinkan partai setelah memberi komentar tentang di tuntutan media sosial bahwa media pemerintah Tiongkok harus tetap setia pada partai. Dia menjalani masa percobaan satu tahun untuk keanggotaan partainya dan akunnya yang sangat populer di Weibo, platform mirip Twitter China, ditutup.
Baca Juga: Donald Trump: WHO benar-benar gagal dan terlalu fokus ke China