Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Lonjakan hanya minyak mentah menuju US$ 100 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014, akan memberikan pukulan ganda terhadap perekonomian dunia. Pukulan ganda itu yakni memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi.
Dua ancaman itu hal mengkhawatiran bagi The Fed dan bank sentral lainnya yang sedang berupaya menahan tekanan kenaikan harga terkuat selama beberapa dekade terkahir tanpa menggagalkan pemulihan dari pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan dari negara kelompok G20 akan melakukan pertemuan virtual minggu ini untuk pertama kalinya tahun 2022. Inflasi merupakan salah satu kekhawatiran mereka.
Meskipun eksportir energi mendapat keuntungan dari booming harga minyak, pengaruh minyak pada ekonomi tidak seperti dulu. Sebagian besar dunia akan terpukul karena perusahaan dan konsumen mendapati tagihan meningkat dan daya belanja terhimpit oleh harga makanan, transportasi, dan pemanas yang lebih mahal.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Meroket, Ini Dampaknya ke Anggaran Pemerintah
Menurut model Shok dari Bloomberg Economics, kenaikan harga minyak mentah menjadi US$ 100 pada akhir bulan ini dari sekitar US$ 70 pada akhir tahun 2021 akan mengangkat inflasi sekitar setengah persen di AS dan Eropa pada paruh kedua tahun ini.
Secara lebih luas, JPMorgan Chase & Co mengingatkan, kenaikan harga minyak hingga US$ 150 per barel bakal hampir menghentikan ekspansi global dan membuat inflasi melonjak hingga lebih dari 7%, lebih dari tiga kali lipat tingkat yang ditargetkan oleh sebagian besar pembuat kebijakan moneter.
“Kejutan harga minyak memberi makan apa yang sekarang menjadi masalah inflasi yang lebih luas. Ada peluang yang layak untuk perlambatan pertumbuhan global yang signifikan sebagai hasilnya," kata Pejabat lama Fed Peter Hooper, yang sekarang menjadi kepala penelitian ekonomi global Deutsche Bank AG seperti dikutip Bloomberg, Senin (14/2).
Harga minyak sudah naik 50% dari harga tahun lalu dan ini bagian dari reli harga komoditas yang lebih luas yang juga menyapu gas alam. Pendorongnya antara lain kebangkitan permintaan di seluruh dunia pasca-lockdown, ketegangan geopolitik yang dipicu oleh raksasa minyak Rusia dan rantai pasokan yang tegang. Prospek untuk kesepakatan nuklir Iran yang diperbarui terkadang mendinginkan pasar.
Krisis energi juga menambah tekanan yang sedang berlangsung dalam rantai pasokan global, yang menaikkan biaya dan menunda bahan mentah dan barang jadi.
Goldman Sachs Group Inc memperkirakan harga minyak bisa mencapai US$100 pada kuartal ketiga. Perusahaan ini mengestimakasikan kenaikan 50% harga akan mengangkat inflasi utama rata-rata 60 basis poin dimana negara berkembang diprediksi akan paling terpukul.
Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini menaikkan perkiraannya untuk harga konsumen global menjadi rata-rata 3,9% di negara maju tahun ini, naik dari 2,3% pada tahun sebelumnya. Sementara di negara berkembang diperkirakan 5,9%.
“Dengan inflasi yang saat ini berada pada level tertinggi selama beberapa dekade dan ketidakpastian seputar prospek inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, hal terakhir yang dibutuhkan pemulihan ekonomi global adalah kenaikan harga energi,” kata ekonom HSBC Janet Henry dan James Pomeroy dalam laporannya 4 Februari lalu.
Baca Juga: Arab Saudi Mangalihkan Saham Aramco Senilai US$ 80 Miliar ke Dana Investasi Negara
China, importir minyak dan pengekspor barang terbesar di dunia, sejauh ini menikmati inflasi yang jinak. Tetapi ekonominya tetap rentan karena produsen sudah menyulap biaya input yang tinggi dan kekhawatiran akan kekurangan energi.
Dengan tekanan harga yang terbukti lebih kuat dari yang diperkirakan sebelumnya, para bankir sentral sekarang memprioritaskan inflasi untuk memperebutkan dukungan permintaan. Harga konsumen atau inflasi di AS yang mengejutkan ke level tertinggi empat dekade mengirim kejutan melalui sistem, meningkatkan taruhan bahwa Fed akan menaikkan suku tujuh kali tahun ini, kecepatan yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Gubernur Bank of England (BoE) Andrew Bailey bulan ini sebagian membenarkan keputusan untuk menaikkan suku bunga Inggris dengan menunjuk ke tekanan dari harga energi.
Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde baru-baru ini mengatakan bahwa para pejabat akan memeriksa dengan hati-hati bagaimana harga energi akan berdampak pada perekonomian. Reserve Bank of India pada hari Kamis juga menandai bahwa harga minyak sebagai risiko.
Baca Juga: Harga Minyak Meroket di Tengah Ketegangan Rusia-Ukraina, WTI Naik 1,6% Pagi Ini