Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - DW. Sampai pada Selasa (07/04), Jerman telah melaporkan sebanyak 105.000 kasus positif virus corona jenis baru (SARS-CoV-2). Namun, tingkat kematian Jerman dalam pandemi ini masih tetap rendah, sekitar 1,5%, demikian menurut ahli kontrol penyakit dari Amerika Serikat (AS) dan Jerman.*
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara anggota Uni Eropa (EU) lainnya, seperti Spanyol misalnya, angka kematian di negara itu berada di angka 9,5%, sementara Italia berada di angka 12%. Jauhnya perbedaan angka kematian di Jerman pun menjadi sorotan dari media-media dari AS dan Inggris, termasuk New York Times, Washington Post, The Guardian dan beberapa lembaga penyiaran publik lainnya. Mereka menggambarkan bagaimana hebatnya Jerman menangani krisis COVID-19.
Dalam artikel ini, DW menjabarkan narasi penting tentang bagaimana Jerman merespon wabah COVID-19 dan mengapa tingkat kematian di negara ini tampak sangat rendah, dan apakah respon ini sesuai dengan kenyataan?
Klaim: Jika dilihat dari tingkat tes per kapita, tes virus corona Jerman merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Jerman juga melakukan tes pada individu dengan gejala ringan atau tanpa gejala.
Klaim: Jika dilihat dari tingkat tes per kapita, tes virus corona Jerman merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Jerman juga melakukan tes pada individu dengan gejala ringan atau tanpa gejala.
Kenyataan: Kementerian Kesehatan Jerman menyatakan bahwa pihaknya melakukan tes kepada 300.000 orang per minggu. Jerman berpenduduk sekitar 82 juta orang. Jerman telah melakukan lebih banyak tes daripada Italia, pusat pandemi COVID-19 di Eropa. Meskipun upaya tes dilakukan secara besar-besaran, jika diasumsikan setiap warga Jerman mendapatkan tes sebanyak satu kali, maka akan memakan waktu 3 tahun untuk menguji seluruh populasi.
Perlu dicatat, membandingkan tingkat tes per kapita di seluruh dunia sangat sulit dilakukan. Alasannya, beberapa negara seperti AS tidak memiliki pusat data yang mencatat semua tes yang dilakukan. Yang semakin memperumit masalah adalah angka-angka yang saling bertentangan bahkan di dalam setiap negara, kemudian penggunaan ukuran waktu yang berbeda dan keterlambatan pelaporan. Faktor-faktor ini semakin menyulitkan kita untuk mengambil kesimpulan negara mana yang memiliki jumlah tes per kapita tertinggi.
Di sisi lain, pusat kontrol penyakit Jerman, Robert Koch Institute (RKI), telah mengkritik metode pengujian yang dilakukan Jerman. Mereka mengeluhkan bahwa terlalu banyak individu tanpa gejala yang menjalani tes. RKI menyerukan agar praktik ini diakhiri dengan alasan, Jerman bisa terkena risiko kehabisan alat tes. Karena itu, orang tanpa gejala saat ini tidak direkomendasikan untuk menjalani tes COVID-19.
Klaim: Jerman disebut-sebut mempertimbangkan penerbitan “sertifikat kekebalan” untuk warga yang pulih dari virus corona agar mereka dapat beraktivitas secara bebas.
Kenyataan: Asal usul rumor ini tampaknya muncul dari kutipan seorang ilmuwan yang diwawancarai oleh majalah berita Jerman Der Spiegel. Hal ini turut dilaporkan oleh Deutsche Welle yang menyebut bahwa hal itu kemungkinan berhubungan dengan sebuah proyek penelitian potensial. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh The Telegraph di Inggris dan Business Insider di AS dan melaporkannya sebagai kebijakan pemerintah Jerman.
Ahli virologi Jerman saat ini sedang mengerjakan pengujian untuk menentukan apakah pasien yang pulih memiliki antibodi yang membuat mereka kebal terhadap virus. Namun, konsesus ilmiah saat ini menyebutkan bahwa tidak ada cara untuk mengukur seberapa besar atau kuat imunitas tersebut dimiliki oleh pasien, dengan perkiraan imunitas bisa bervariasi dalam beberapa minggu hingga satu tahun. Oleh karena itu, sertifikat kekebalan tersebut tidak dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah Jerman sebagai metode untuk melawan penyebaran penyakit COVID-19.
Klaim: Tingkat kematian Jerman sangat rendah karena perencanaan yang matang dan sistem perawatan kesehatan yang sangat baik.
Kenyataan: Jerman memang memiliki sistem perawatan kesehatan publik yang kuat. Namun, seperti halnya di banyak negara, para tenaga medis yang berada di bidang perawatan pernapasan dan perawatan intensif juga dilaporkan mengalami kelelahan akibat terlalu banyak bekerja. TIdak hanya itu, mereka juga memiliki risiko kehabisan alat pelindung diri (APD).
Meskipun Jerman memiliki cukup rumah sakit untuk menampung pasien, mereka sebenarnya kekurangan SDM, sehingga mahasiswa kedokteran kini terjun langsung untuk membantu unit-unit yang kewalahan.
Statistik jumlah tempat perawatan intensif di Jerman sering dikutip sebagai bukti kesiapan Jerman dalam menangani krisis. Namun, para pejabat Jerman justru melaporkan angka yang berbeda. Asosiasi Rumah Sakit Jerman mengatakan ada 40.000 tempat tidur yang tersedia, yaitu sekitar 49 tempat tidur untuk setiap 100.000 dari 82 juta penduduk Jerman. Sementara, Lembaga Pencatatan Tempat Perawatan Intensif menyatakan ada 24.000 tempat tidur yang tersedia, sekitar 29 tempat tidur untuk setiap 100.000 orang.
Adapun jika dilihat dari sisi perencanaan, penguncian oleh Jerman dan peraturan pembatasan sosial baru diberlakukan lebih dari seminggu setelah sesama anggota Uni Eropa seperi Prancis, Austria, dan Spanyol memberlakukan kebijakan serupa. Terlepas dari apa yang terjadi di Italia pada awal blan Maret, Jerman sebenarnya jauh lebih lambat merespon krisis dibandingkan negara tetangganya.
Namun, di balik masih rendahnya angka kematian di Jerman, ada banyak faktor-faktor lain. Ini termasuk peran sistem pemerintahan federal Jerman, yang berarti ada ratusan pejabat kesehatan yang mengawasi respon dalam menghadapi pandemi ini di 16 negara bagian. Jadi tidak hanya terpusat dari Kementerian Kesehatan Nasional saja.
Klaim: Pemerintah AS berusaha mencuri vaksin milik Jerman.
Kenyataan: Salah satu liputan tentang virus corona pertama dari Jerman yang dilaporkan secara global berasal dari sebuah artikel di surat kabar Welt am Sonntag. Surat kabar itu mengklaim bahwa pemerintahan Trump sedang mencoba merayu CureVac, perusahaan biofarmasi yang berbasis di Tübingen.
Surat kabar itu mengutip sebuah sumber anonim yang mengklaim bahwa AS menawarkan insentif keuangan untuk mengembangkan vaksin “hanya untuk AS”.
Setelah kutipan itu diterjemahkan, hal itu pun dilaporkan juga oleh The Guardian dan outlet berita lainnya. Sejak saat itu, Duta Besar AS untuk Jerman Richard Grenell, Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn, dan CureVac sendiri telah menyatakan bantahannya.
Terlebih lagi, CureVac hanyalah satu dari puluhan perusahaan Jerman yang berlomba-lomba untuk membuat vaksin, dan Jerman hanyalah salah satu negara yang komunitas ilmiahnya sekarang berfokus pada pengembangan vaksin COVID-19.
Klaim: Salah satu alasan tingkat kematian Jerman rendah adalah karena warga Jerman patuh pada aturan social distancing atau pembatasan sosial.
Kenyataan: Ini adalah keyakinan yang disalahartikan yang kemudian beredar di media sosial. Keyakinan ini mungkin didasarkan pada setreotip lama karakter nasional warga Jerman daripada didasarkan pada bukti aktual. Statistik resmi terkait hal ini memang belum ada, namun bukti-bukti anekdotal yang beredar luas memperlihatkan kebalikan dari klaim di atas.
Ketika Kanselir Jerman Angela Merkel pertama kali menyarankan pada tanggal 18 Maret agar warga Jerman tinggal di rumah sebanyak mungkin dan menahan diri untuk tidak bertemu dalam kerumunan, banyak pengguna media sosial yang justru mengeluh dengan alasan cuaca yang sedang indah-indahnya. Selain itu, toko es krim lokal dan kafe-kafe juga masih tetap buka. Tidak ada kehidupan publik yang berubah selain langkanya tisu toilet.
Bahkan setelah restoran dan toko-toko non-esensial ditutup dan denda diberlakukan bagi kelompok yang berkumpul lebih dari dua orang, peraturan pun masih tetap dilanggar. Polisi Berlin harus meminta warga untuk berhenti memadati garis-garis darurat dan melaporkan banyak sekali pelanggar aturan. Sementara itu, klub-klub kota bawah tanah dilaporkan masih terus beraktivitas. Warga memang tidak seharusnya berkumpul dan duduk di taman, tapi coba lihat tampilan taman Berlin pada akhir pekan lalu:
*Dalam melaporkan pandemi COVID-19, DW menggunakan data yang disediakan oleh Pusat Sumber Daya Virus Corona Universitas Johns Hopkins (JHU) di Amerika Serikat. JHU memperbarui data secara real time, dengan mengumpulkan data dari organisasi kesehatan dunia (WHO), pemerintah negara bagian dan nasional, dan sumber resmi publik lainnya.
Statistik nasional Jerman disusun oleh badan kesehatan publik Jerman, Robert Koch Institutue (RKI). Statistik ini bergantung pada kiriman data dari tingkat negara bagian dan lokal dan diperbarui sekitar sekali sehari, sehingga dapat menyebabkan penyimpangan dari data Johns Hopkins University (JHU).