kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengembangkan perusahaan keluarga ke sektor manufaktur (2)


Rabu, 24 Oktober 2018 / 15:28 WIB
Mengembangkan perusahaan keluarga ke sektor manufaktur (2)
ILUSTRASI. FENOMENA - Mohammed Dewij


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tri Adi

Mohammed Dewij banyak berutang budi pada ayahnya, Gulamabbas Dewij. Sejak kecil dirinya hidup berdisiplin dan hidup mandiri. Dewij sempat bekerja sebagai pegawai di J.P Morgan Investment Banking. Namun tidak bertahan lama lantaran gaji yang ia peroleh sulit menutup biaya hidup di Amerika Serikat yang mahal. Lalu datang ajakan untuk bekerja di perusahaan sang ayah. Dewij berhasil mengembangkan bisnis importir menjadi bisnis manufaktur.

Miliarder Mohammed Dewij tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Afrika yang sukses mengumpulkan pundi-pundi kekayaan hingga US$ 1,5 miliar per Oktober 2018. Namun kekayaan itu tidak ia peroleh dengan mudah. Ia tetap harus kerja keras, tekun dan itu semua berkat didikan dari ayahnya, Gulamabbas Dewij.

Ayahnya secara teratur memberikan pendidikan formal dan informal. Sang ayah melatihnya sejak kecil untuk berbisnis. Dewij bercerita, ketika musim panas tiba, ayahnya mewajibkan bekerja dan hidup mandiri. Gaya hidup disiplin dan mandiri tetap diterapkan ayahnya hingga Dewij dewasa.

Selepas lulus dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat (AS), Dewij memilih bekerja di J.P Morgan Invesment Banking, New York, tapi itu tidak menghasilkan terlalu banyak uang. Ia memperoleh gaji sebesar US$ 60.000 per tahun. Uang tersebut kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di kota dengan biaya hidup termahal, yaitu Manhattan, New York.

Apalagi dari penghasilan itu masih terkena pajak dari pemerintah sebesar 30%, ditambah mahalnya biaya sewa apartemen di sana. Dalam beberapa bulan bekerja di Wall street, ia menyadari, membutuhkan dukungan finansial ekstra dari ayahnya. Namun, ayahnya menolak dengan sopan dan sebaliknya mengajak Dewij kembali ke rumah dan bergabung ke bisnis keluarga di Tanzania. "Suatu hari, saya menelepon ayah saya dan memintanya menambah penghasilan saya. Sewa untuk apartemen kecil saya sebesar US$ 30.000 per tahun, dan saya membayar lebih dari 30% dari penghasilan saya untuk pajak", kata Dewij, yang dikutip dari Forbes.

Ia menceritakan, ayahnya hanya menganggap anaknya mengejar uang receh di kota New York. Padahal, ada kekayaan yang lebih besar dan bisa digarap di tanah kelahirannya, Tanzania. "Kamu hanya membuang-buang waktu saja di Amerika," kata Dewij menirukan ayahnya.

Atas saran tersebut, Dewij yang waktu itu berusia 23 tahun langsung mengepak tas dan kembali ke Tanzania. Ia kemudian mengambil alih manajemen Mohammed Enterprises Tanzania Limited (MeTL), sebuah bisnis perdagangan komoditas yang didirikan oleh ayahnya.

Pada tahun 1999, MeTL masih menjadi perusahaan yang menjual barang-barang impor seperti garam, sabun, biskuit, penganan, tusuk gigi, dan pakaian. Perusahaan ini juga memiliki bisnis transportasi dan pengangkutan. Namun pekerjaan tersebut dianggap kurang menantang bagi Dewij. Perdagangan ini menghasilkan jumlah uang yang lumayan. Tapi mengapa kami hanya bisa mengimpor sabun, kenapa tidak membuat sendiri, tanya Dewij.

Jadi dia mendekati ayahnya dan menyarankan produksi barang-barang tertentu. Pada awalnya ayahnya berusaha menghalangi membangun industri manufaktur, karena dinilai terlalu padat modal. Tapi Dewij, tidak mau hanya tinggal di zona nyaman dan berkeras untuk mempelajari model dan proyeksi bisnis ke depan.

Pada tahun 2003, pemerintah Tanzania melakukan privatisasi ke perusahaan-perusahaan negara yang merugi. Ia mengambil kesempatan ini untuk membeli perusahaan tersebut dengan harga murah.

Dewij yang berusia 29 tahun kala itu, kemudian mengambil kesempatan itu dengan meminjam uang sebesar US$ 1 juta dari ayahnya untuk membeli pabrik sabun, pabrik kilang minyak nabati dan pabrik tekstil dari pemerintah. Menggunakan gaya manajemen bisnis yang ramping, ditopang dengan investasi dan teknologi yang mumpuni, ia berhasil memangkas biaya operasional perusahaan.

(Bersambung)



TERBARU

[X]
×