Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tri Adi
Ia menceritakan, ayahnya hanya menganggap anaknya mengejar uang receh di kota New York. Padahal, ada kekayaan yang lebih besar dan bisa digarap di tanah kelahirannya, Tanzania. "Kamu hanya membuang-buang waktu saja di Amerika," kata Dewij menirukan ayahnya.
Atas saran tersebut, Dewij yang waktu itu berusia 23 tahun langsung mengepak tas dan kembali ke Tanzania. Ia kemudian mengambil alih manajemen Mohammed Enterprises Tanzania Limited (MeTL), sebuah bisnis perdagangan komoditas yang didirikan oleh ayahnya.
Pada tahun 1999, MeTL masih menjadi perusahaan yang menjual barang-barang impor seperti garam, sabun, biskuit, penganan, tusuk gigi, dan pakaian. Perusahaan ini juga memiliki bisnis transportasi dan pengangkutan. Namun pekerjaan tersebut dianggap kurang menantang bagi Dewij. Perdagangan ini menghasilkan jumlah uang yang lumayan. Tapi mengapa kami hanya bisa mengimpor sabun, kenapa tidak membuat sendiri, tanya Dewij.
Jadi dia mendekati ayahnya dan menyarankan produksi barang-barang tertentu. Pada awalnya ayahnya berusaha menghalangi membangun industri manufaktur, karena dinilai terlalu padat modal. Tapi Dewij, tidak mau hanya tinggal di zona nyaman dan berkeras untuk mempelajari model dan proyeksi bisnis ke depan.
Pada tahun 2003, pemerintah Tanzania melakukan privatisasi ke perusahaan-perusahaan negara yang merugi. Ia mengambil kesempatan ini untuk membeli perusahaan tersebut dengan harga murah.
Dewij yang berusia 29 tahun kala itu, kemudian mengambil kesempatan itu dengan meminjam uang sebesar US$ 1 juta dari ayahnya untuk membeli pabrik sabun, pabrik kilang minyak nabati dan pabrik tekstil dari pemerintah. Menggunakan gaya manajemen bisnis yang ramping, ditopang dengan investasi dan teknologi yang mumpuni, ia berhasil memangkas biaya operasional perusahaan.
(Bersambung)