Reporter: Dina Farisah | Editor: Tri Adi
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Berkat tempaan sang ayah, Georg Schaeffler sukses membesarkan bisnis warisan keluarganya. Sang ayah adalah pendiri Schaeffler Group yakni produsen suku cadang mobil asal Jerman. Ayahnya kemudian mewarisi usahanya ke Schaeffler. Meski melanjutkan tongkat estafet bisnis dari sang ayah pada usia belia, namun ia berhasil membawa Schaeffler Group dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan skala internasional.
Melanjutkan estafet bisnis warisan acap menjadi beban. Kalau salah urus, alih-alih berkembang, bisnis warisan justru malah bisa ambruk. Untungnya, Georg F W Schaeffler punya naluri bisnis tinggi dan kemampuan manajerial mumpuni.
Bermodal itulah, Schaeffler tak hanya mampu membawa Schaeffler Group, perusahaan warisan orangtuanya bertahan hingga sekarang. Tapi, juga membesarkannya.
Bisnis suku cadang otomotif ini pula yang mengantarkannya menjadi miliarder dengan harta kekayaan bersih sebesar US$ 20,1 miliar versi Forbes. Ia menduduki peringkat ke-39 dalam daftar miliarder global sekaligus menyandang predikat sebagai orang terkaya nomor empat di Jerman.
Belakangan, Forbes mencatat harta kekayaan bersih Schaeffler merosot menjadi US$ 18,3 miliar per Januari 2017 gara-gara efek Brexit.
Kekayaan Schaeffler diperoleh dari warisan keluarga. Ayahnya merintis bisnis keluarga dalam bidang penyediaan suku cadang otomotif melalui perusahaan induk Schaeffler Group yang meliputi INA, FAG dan LuK. Dalam perjalanannya, Schaeffler Group terbagi menjadi Schaeffler AG dan Schaeffler Technologies AG & Co KG. Schaeffler AG merupakan produsen terbesar komponen mesin dan ball bearing di dunia.
Schaeffler mewarisi bisnis raksasa sang ayah, Schaeffler Senior yang memulai usaha dari nol. Pada tahun 1946, Schaeffler Senior dan saudaranya Wilhelm mendirikan sebuah perusahaan bernama INA di Herzogenaurach, Jerman. Awalnya mereka memproduksi gesper dan gerobak kayu. Namun terobosan besar dimulai tiga tahun setelahnya. Kala itu, tidak ada lagi pembatasan usaha pasca Perang Dunia II.
Tepatnya pada tahun 1949, Schaeffler Senior mengembangkan roller bearing. Dalam otomotif, komponen ini sangat penting yakni berupa roller yang berbentuk silinder yang menghubungkan bagian dalam dan bagian luar mesin.
Di sinilah cikal bakal Schaeffler Group berkibar. INA mengawali kejayaan Schaeffler Group dengan tumbuh dan berkembang menjadi raksasa global dalam industri otomotif. Temuan roller bearing tersebut menyita perhatian kalangan industri otomotif.
Bisnis yang dirintis dua saudara ini akhirnya ditinggalkan Wilhelm yang menghadap Sang Pencipta pada tahun 1981. Namun Schaeffler Senior tidak patah semangat. Ia terus melanjutkan kejayaan bisnis suku cadang ini hingga ia menyusul saudaranya dan tutup usia pada tahun 1996.
Kala itu, warisan bisnis jatuh ke tangan istrinya, Maria Elisabeth Schaeffler. Maria tidak sendirian dalam mengurus bisnis raksasa ini. Sebab mulai tahun 1990, Schaeffler mulai bekerja pada perusahaan ayahnya. Sebagai anak muda yang baru belajar bisnis, Schaeffler Senior dengan perlahan membimbing anaknya. Sebab, ia menyadari pada akhirnya tongkat estafet bisnis akan ia serahkan ke putranya tersebut. Sebaliknya, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, Schaeffler menimba ilmu dari ayahnya. Dengan kesungguhan, kini ia mampu membuktikan bisnis tersebut jatuh ke tangan yang tepat.
Selang waktu tiga tahun sepeninggal ayahnya, peran Schaeffler baru tampak. Hingga pada tahun 1999, Schaeffler mengambil alih perusahaan manufaktur otomotif bernama LuK GmbH. Akuisisi ini semakin mengukuhkan nama Schaeffler Group sebagai perusahaan berskala internasional.
Schaeffler Group tercatat mempekerjakan lebih dari 80.000 orang pada 170 lokasi yang tersebar di 49 negara. Schaeffler mewarisi 80% harta kekayaan ayahnya. Sementara 20% diwariskan ke ibunya.
(Bersambung)