kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Moody's: Risiko terjadinya resesi global dalam 12-18 bulan ke depan sangat tinggi


Rabu, 16 Oktober 2019 / 13:50 WIB
Moody's: Risiko terjadinya resesi global dalam 12-18 bulan ke depan sangat tinggi
ILUSTRASI. A Moodys sign on the 7 World Trade Center tower is photographed in New York August 2, 2011. Behind all too many of market moves in government debt of late has been a report from one of the major credit ratings agencies. Standard & Poors is the biggest and


Sumber: CNBC,Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Seorang ekonom memprediksi, ada kemungkinan yang "sangat tinggi" bahwa resesi dapat menghantam ekonomi global dalam 12-18 bulan ke depan. Jika ini terjadi, para pembuat kebijakan mungkin tidak dapat membalikkan arah itu.

"Saya pikir risikonya sangat tinggi, sehingga jika sesuatu tidak melekat pada naskahnya maka kita akan mengalami resesi," kata Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics seperti yang dikutip oleh CNBC. "Saya juga akan mengatakan ini: Bahkan jika kita tidak mengalami resesi dalam 12-18 bulan ke depan, saya pikir cukup jelas bahwa kita akan mengalami perlambatan ekonomi yang cukup dalam."

Menurutnya, agar terhindar dari perlambatan ekonomi, kita harus "tetap berpegang pada naskah" pada saat yang sama. Termasuk di dalamnya, Presiden AS Donald Trump yang tidak meningkatkan perang tarif dengan China, AS menemukan resolusi untuk Brexit, dan bank sentral melanjutkan stimulus moneter mereka.

Baca Juga: Permintaan penyelidikan pemakzulan oleh DPR AS kian intensif, Trump tetap membangkang

“Saya pikir risikonya tinggi, sangat tidak nyaman,” katanya kepada CNBC ketika ditanya tentang kemungkinan resesi ekonomi global.

Ekonom lain tampak tidak khawatir tentang resesi. Akan tetapi, Zandi melihat pertumbuhan ekonomi global akan terus melemah.

Eswar Prasad, seorang profesor di Cornell University, mengatakan belanja konsumen telah membantu mendukung pertumbuhan di sejumlah negara -bahkan ketika momentum melorot di sektor lain. Tapi itu tidak berkelanjutan.

Baca Juga: Krisis pembekuan parlemen Inggris, poundsterling anjlok ke level terendah sejak 2016

“Konsumen dan rumah tangga tidak bisa diandalkan untuk menjaga pertumbuhan. Jadi, sungguh, kuncinya adalah membuat serangkaian kebijakan yang akan memacu kebangkitan kembali kepercayaan bisnis dan konsumen, dan akhirnya meningkatkan investasi," kata Zandi kepada CNBC.

Dukungan moneter dan fiskal

Dukungan moneter dan fiskal

Pada hari Selasa, Badan Dana Moneter Internasional kembali memangkras prediksi pertumbuhan global.

Melansir Reuters, dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia, IMF memperkirakan bahwa ekonomi global hanya akan tumbuh 3% tahun ini dan 3,4% pada tahun 2020. Ramalan itu lebih rendah dari prediksi sebelumnya sebesar 3,2% dan 3,5% - untuk masing-masing tahun 2019 dan 2020 - yang dibuat pada bulan Juli.

IMF menilai, lemahnya pertumbuhan lemah sebagian karena meningkatnya hambatan perdagangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik, dan menyerukan cara "seimbang" untuk menangkis risiko tersebut.

Baca Juga: Demi loloskan Brexit, Perdana Menteri Inggris intervensi Ratu Elizabeth II

"Kebijakan moneter tidak bisa menjadi satu-satunya permainan di sini dan harus ditambah dengan dukungan fiskal," kata IMF seperti yang dilansir Reuters.

Zandi setuju bahwa pemerintah harus meningkatkan anggaran belanja untuk mendukung ekonomi. Akan tetapi dia mengatakan, banyak ekonomi besar tidak akan menempuh jalan itu.

Zandi menjelaskan, dengan dua faksi politik utama di AS yang saling bertolak belakang terkait penyelidikan pemakzulan terhadap Trump, tampaknya tidak mungkin bahwa Kongres akan meloloskan rencana untuk pemotongan pajak. Di Eropa, Jerman mungkin memiliki ruang fiskal untuk dibelanjakan tetapi pemerintah bisa kesulitan melakukannya secara legislatif.




TERBARU

[X]
×