Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Analis Morgan Stanley untuk kawasan Asia baru-baru ini menyebut Tiongkok sedang berada di dalam lingkaran setan deflasi dan utang. Dalam menanggapi situasi ini, para pejabat Tiongkok disarankan untuk menerapkan pendekatan yang lebih tegas.
Chetan Ahya, dalam tulisannya di Financial Times, menyoroti nasib Tiongkok yang jadi satu-satunya negara dengan perekonomian besar yang mengalami deflasi ketika bank sentral para pesaingnya sibuk melawan inflasi.
Deflator produk domestik bruto Tiongkok dilaporkan telah mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut, dan sekarang berada pada -1,4%.
"Jika deflasi terus berdampak pada hal ini, perusahaan akan mengurangi pertumbuhan upah, sehingga menciptakan lingkaran yang kejam yang melemahkan permintaan agregat dan tekanan deflasi," tulis Ahya, dikutip Business Insider.
Baca Juga: Pasar Utama di Teluk Terpuruk Akibat Melemahnya Harga Minyak
Suku bunga riil Tiongkok akan terdorong lebih tinggi jika disesuaikan dengan deflasi. Situasi itu berarti debitur di Tiongkok menghadapi beban utang yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, kondisi itu akan mengurangi pendapatan dan laba perusahaan, sehingga memaksa perusahaan-perusahaan yang berutang untuk melakukan pengurangan.
Ahya menambahkan, pada faktanya kondisi utang yang tinggi di Tiongkok dapat menjelaskan mengapa negara tersebut menghadapi deflasi. Pemerintah Tiongkok dan sektor properti mulai mengalami gagal bayar. Mereka kini mulai fokus pada pengurangan utang pada neracanya masing-masing.
"Jika Anda mempertimbangkan bahwa gabungan utang pada neraca ini menyumbang sekitar 100% PDB, maka tidak mengherankan jika tekanan permintaan dan harga masih lemah seperti sebelumnya," lanjut Ahya.
Baca Juga: Bank of China Melirik Peluang Dedolarisasi di Benua Afrika
Menyusun Ulang Kebijakan
Analis Morgan Stanley menyarankan agar pemerintah Tiongkok meningkatkan permintaan agregat di negaranya dan menaikkan deflator PDB menjadi 2%-3% dalam dua tahun ke depan.
"Selama ini kebijakan yang diterapkan terlalu reaktif dan ragu-ragu. Hal ini termasuk memotong suku bunga, dan menawarkan stimulus melalui penerbitan obligasi pemerintah," ungkap Ahya.
Lebih lanjut, pemerintah Tiongkok dianggap terlalu bergantung pada investasi, yang saat ini menyumbang 42% PDB. Menurut analis Morgan Stanley, metode ini hanya memberikan dukungan sementara.
Baca Juga: Pneumonia Merebak, Senator AS Desak Biden Berlakukan Larangan Perjalanan ke China
Pembuat kebijakan di Beijing diminta untuk lebih berani menstimulasi konsumsi, misalnya melalui belanja pendidikan, layanan kesehatan, dan perumahan. Analis percaya, hal itu dapat membuat konsumen Tiongkok bisa lebih terbuka terhadap pengeluaran di negara lain.
Terakhir, Ahya menyarankan pemerintah Tiongkok untuk melakukan peralihan bersama untuk menyeimbangkan kembali perekonomian menuju konsumsi dan peningkatan kuat dalam siklus perdagangan global.
Dua hal itu dianggap menjadi dua faktor utama yang dapat mempercepat transisi menuju lingkungan inflasi yang lebih sehat.