Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak akhirnya turun pada pekan ini setelah menguat dalam tujuh pekan berturut-turut. Kedua tolok ukur harga minyak mentah mengakhiri reli mingguan terpanjang di tahun 2023 karena meningkatnya kekhawatiran tentang pertumbuhan permintaan global.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) kontrak September 2023 di New York Mercantile Exchange turun 2,33% dalam sepekan. Sedangkan harga minyak Brent kontrak Oktober 2023 di ICE Futures turun 2,31% pada periode yang sama.
Kedua tolok ukur harga minyak terangkat pada hari Jumat setelah data industri menunjukkan jumlah rig minyak dan gas alam Amerika Serikat (AS), indikator awal produksi di masa depan, turun untuk minggu keenam berturut-turut. Kemerosotan produksi AS dapat memperburuk pasokan ketat yang diantisipasi hingga akhir tahun ini.
Kekhawatiran itu didorong oleh penurunan produksi dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+), membantu kenaikan harga minyak selama tujuh minggu berturut-turut sejak Juni. Harga minyak mentah Brent naik sekitar 18% dan WTI naik 20% selama tujuh minggu yang berakhir 11 Agustus.
Baca Juga: Harga Batubara Melesat, Saham Ikut Terangkat
Namun minggu ini, harga minyak turun sekitar 2% dari minggu lalu, karena krisis properti yang memburuk di China menambah kekhawatiran tentang pemulihan ekonomi negara yang lamban dan mengurangi minat investor terhadap risiko di seluruh pasar.
"Kekhawatiran bagi investor tetap terfokus pada ketegangan antara pertumbuhan global yang melambat dan pasokan global yang masih ketat," kata Rob Haworth, Manajer Portofolio Senior di U.S. Bank Asset Management kepada Reuters.
kata Haworth menambahkan, harga kemungkinan akan bergerak di kisaran sekarang. Permintaan dipertanyakan karena investor khawatir dengan lemahnya data dari China.
Baca Juga: Harga Minyak Menghentikan Kenaikan 7 Pekan Beruntun
Kekhawatiran juga memuncak bahwa Federal Reserve AS belum selesai menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi. Biaya pinjaman yang lebih tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya mengurangi permintaan minyak secara keseluruhan.
"Benchmark minyak semakin tertekan oleh melemahnya permintaan musiman menjelang musim gugur," kata Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Management.
Hatfield memperkirakan permintaan akan bertahan di China meskipun ekonominya melambat. Dia memperkirakan harga minyak akan diperdagangkan antara US$ 75 hingga US$ 90 per barel selama beberapa bulan mendatang.