Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menyoroti langkah kebijakan stimulus China yang dilakukan untuk menopang pertumbuhan ekonominya.
Dalam survei terbaru yang dilakukan OECD, stimulus yang dikeluarkan China memang akan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan. Namun, akan membuat negara tirai bambu tersebut sulit mengontrol utang dan akan memperburuk struktur distorsi dalam jangka menengah.
China telah meningkatkan stimulus fiskal untuk mencegah perlambatan ekonomi yang lebih dalam akibatnya melemahnya konsumsi dalam negeri dan perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Pemerintah daerah di China diperbolehkan menerbitkan obligasi special purpose sebesar CNY 2,15 triliun atau setara US$ 320,6 miliar pada tahun 2019 guna mendanai proyek infrastruktur. Jumlah tersebut melonjak 59% dari tahun lalu.
Lembaga rating global, S&P memperkirakan tahun lalu bahwa pemerintah daerah di China sudah menggunakan utang sebesar 40 triliun.
"Stimulus infrastruktur bisa mengangkat pertumbuhan di atas cakrawala proyeksi, tetapi bisa mengarah pada peningkatan ketidakseimbangan dan miss alokasi modal, dan dengan demikian melemahkan pertumbuhan dalam jangka menengah," ungkap OECD dalam survei terbarunya seperti dikutip Reuters, Selasa (16/4).
OECD melihat, stimulus tersebut berisiko meningkatkan utang sektor korporasi dan secara umum akan membalikkan kemajuan dalam develeraging.
Utang perusahaan China telah turun menjadi sekitar 160% dari Produk Domestik Bruto (PDB) karena pengereman bertahun-tahun pada jenis-jenis pembiayaan dan utang yang lebih berisiko. Tetapi tingkat utang tersebut masih lebih tinggi daripada di negara-negara besar lainnya.
Pada Maret lalu, pemerintah China telah mengumumkan pemotongan pajak dan beban CNY 2 triliun bagi perusahaan di negaranya tahun ini. Kebijakan itu akan membuat defisit anggaran China meningkat dari 2,6% tahun 2018 menjadi 2,8%. Stimulus fiskal China bisa mencapai 4,25 dari PDB tahun ini, naik dari 2,94% pada 2018.
Ludger Schuknecht, Wakil Sekretaris Jenderal OECD mencatat bahwa kebijakan moneter yang lebih mudah akan membantu mengurangi risiko tekanan likuiditas yang dapat memberi tekanan lebih lanjut pada bisnis.
Namun dia mengatakan pemerintah China harus mencegah kebijakan overshooting. Kebijakan fiskal harus bertujuan untuk mendukung ekonomi sambil menghindari efek samping. "Saya yakin otoritas pemerintah dan PBoC sedang memantau ini dengan cermat. Ini masalah penerapan stimulus dengan cara yang benar," katanya.
Penyaluran kredit baru perbankan China meningkat tajam pada Maret melebihi perkiraan yakni mencapai CNY 5,8 triliun setelah regulator setempat mendorong pemberian kredit untuk mendukung perusahaan swasta yang lebih kecil. Namun, ada kekhawatiran bahwa standar pemberian pinjaman yang lebih longgar dapat memicu kenaikan kredit macet dan mendorong spekulasi yang tidak efisien terutama di pasar properti.
Bank Rakyat China (PBOC) telah memangkas rasio persyaratan cadangan bank (RRR) lima kali selama setahun terakhir dan secara luas diperkirakan akan memudahkan kebijakan lebih lanjut di kuartal mendatang untuk memacu kredit dan mengurangi biaya kredit.
Pada bulan Maret, OECD memangkas proyeksi pertumbuhan China tahun ini dari 6,3% menjadi 6,2%. Sedangkan tahun 2020 diperkirakan akan melambat lagi ke level 6,0%.